Jumat, 23 Januari 2009

Pacitan, Potensi yang Tersembunyi (Hari ke-7)

Pagi ini kami merasa tidak salah pilih penginapan. Sedikit lebih mahal dari penginapan yang pernah kami diami di Kediri. Namun masih lebih murah dibanding standar penginapan di Batu. Kami puas dengan apa yang mereka sediakan di restonya. Saat sarapan gratis, kami dimanjakan oleh tumpukan buku tentang Indonesia, manusia, budaya, dan segala macam isinya. Belum lagi timbunan National Geograpich Indonesia yang membuat kuning mata kami. Nasi Goreng yang sedikit itupun terasa sudah lebih dari cukup untuk sarapan kami. Terbayar oleh gambar dan coretan dalam buku-buku tersebut. Benar-benar kenyang………

Belum kami putuskan apakah akan kembali ke Magetan hari ini juga atau besok pagi. Akan kembali melewati rute saat berangkat atau melewati rute baru melalui Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, Karanganyar, dan naik ke taawangmangu, dan ti di Sarangan lagi. Semua bisa terjadi, kami hanya pasrahkan pada waktu, dan itu urusan nanti. Sekarang kita serbu dulu Pacitan.

Pantai Teleng Ria

Tidak banyak yang kami tau tentang Pacitan sebelumnya. Hanya beberapa informasi yang kami dapat pagi ini. Berangkat! Tujuan pertama adalah Pantai Teleng Ria. Berada di Teluk Pacitan dan tidak jauh dari kota. Benar-benar dikelola karena kami harus bayar untuk masuk ke komplek pantai. Sepi, gerimis kemudian hujan, dan……..lumayanlah. Cukup lebar, Teleng Ria membentang sepanjang ujung teluk. Tidak terlalu putih namun cukup menarik. Seperti di Prigi, karena banyak warung berjajar di sekitar pantai ditambah adanya pelabuhan nelayan, pantai jadi sedikit kotor dan kurang enak dipandang.

Srau 1


Terus menuju ke barat melalui jalur Pacitan-Wonogiri. Saat melihat papan petunjuk mengarah ke kiri bertuliskan Pantai Srau, Pantai Watukarung, Pantai Klayar; kami langsung banting stir. Tujuan pertama adalah Pantai Srau. Sekitar 25 km dari kota Pacitan. Gila……………………………………………………… kami benar-benar girang. Jantung ini rasanya melonjak-lonjak melihat Srau. Kami yakin masih banyak yang melebihi indahnya Srau, tapi sudah sangat berterimakasih sekali kepada Tuhan akan hal ini. Tidak ada tiket masuk, tidak ada penjual makanan, tidak ada sampah. Hanya para penduduk sekitar yang sedang menjemur rumput laut di sisi-sisi pantai.

menjemur


memancing


“Tidak hanya pasir putih, kami pun disuguhi gelombang yang menabrak karang-karang tinggi. Suaranya saja mampu menentramkan hati.”


Srau 2


Srau merupakan nama untuk satu tempat. Tapi pantainya ada tiga lokasi yang terpisah oleh perbukitan karang. Semuanya benar-benar luar biasa. Subhanallah, Wonderfull man……….. dan saat perjalanan pulang, kami berpapasan dengan seorang bapak dan istrinya datang dengan sebuah sepeda motor. Apa yang mereka bawa? Papan Selancar.

Srau 3


anak Srau


Next, Watukarung. Kami tidak menyadari bahwa pantai hitam nan bersih di tengah celah sempit bebatuan dan dipenuhi oleh puluhan kapal nelayan tersebut adalah Pantai Watukarung. Kami mengira itu hanya pantai untuk para nelayan saja. Kecuali beberapa ratus meter dari situ, dibalik sebuah perkampungan kami menemukan sebuah pantai yang tersembunyi. Kami lebih memilih pantai itulah Watukarung. Benar-benar berada di balik sebuah kampung. Tak jauh indah dengan Srau. Lebih lebar dan terdapat beberapa pulau kecil di tengah teluknya. Mmhhhhh……….

Pantai Watukarung


Perjalanan menuju Klayar tidak pernah kami bayangkan akan sesulit sebelumnya. Ketakutan seperti saat hari pertama di Sekar kembali melanda kami. Berada di jalanan rusak di tengah hutan berbukit-bukit. Syukurlah tidak terlalu jauh, tapi kami masih harus berbelok ke selatan lagi menuju Pantai Klayar. Semua aspal, tapi semua rusak. Kami hanya berharap apa yang kami lihat nanti bisa mengobati perjalanan ini. dan itu benar. Kami puas. Puas sekali……. Jalanan rusak membuat banyak orang enggan ke Klayar. Sehingga kami merasa pantai ini hanya miliki kami. Tidak hanya pasir putih, kami pun disuguhi gelombang yang menabrak karang-karang tinggi. Suaranya saja mampu menentramkan hati. Kami tidak akan pernah melupakan ini semua…………………terimakasih Tuhan!?


sudut-sudut Klayar

Pacitan lebih dikenal dengan Seribu Goa-nya. Secara tidak sengaja kami menemukan 2 diantaranya saat perjalanan pulang ke kota Pacitan. Pertama, tepat berada di bibir jalan. Goa Klatak kalo kami tidak salah ingat. Sepi sekali goa ini. kami pun hanya mengambil gambar seadanya. Goa kedua adalah Goa gong yang kami ketahui secara tidak sengaja, padahal sangat terkenal namanya. Kami sisihkan waktu sejenak untuk masuk ke dalamnya. Penuh lampu berwarna, kipas besar untuk menghilangkan panas, dan tentu saja tangga stainles yang memudahkan pengunjung menjelajahi goa hingga ke ujung bawah.

Goa Gong

Sebenarnya kami juga menemukan papan penunjuk jalan menuju Goa Tabuhan. Tapi kami merasa sudah terlalu siang untuk berbelok menempuh beberapa kilometer lagi. Kami pun pulang ke kota Pacitan. Lapaaaaar……. (belakangan terlihat sebuah gambar menarik dari sudut-sudut Goa Tabuhan di internet, menyesal rasanya).

hari benar-benar masih siang. Kami putuskan untuk kembali saja ke Magetan suapaya besok bisa langsung ke Surabaya. Lewat rute saat berangkat saja supaya cepat. Toh kami sudah puas dengan Pacitan. Sangat puas……….! Setelah berkemas, shalat, dan makan……kami pulang. Dan Magetan pun menyambut kami dengan hujan sore itu.

Sebuah perjalanan yang tak terlupakan. Mengasyikkan dan penuh tantangan. Namun sayangnya besok kami harus pulang.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

ga sekalipun ada niat touring PCT naek motor. Nge bis saja cukup. Kasian motorku...

L0veR_D0siEZ mengatakan...

woi....
Q ne org pctan lho....

gmn,,, uasyix ta...

anya mengatakan...

sekarang pantai srau uda ada tiket masuknya. tapi yang jualan masi jarang