Senin, 30 Maret 2009

Ritual Sebelum Ujian

Selalu ada hal yang harus dilakukan sebelum ujian. Lebih tepatnya harus selalu ada sebuah kata kerja sebelum menempuh ujian. Kata kerja itu adalah “refreshing”. Dan sedari dulu, pekerjaan itu tak pernah jauh dari kata “jalan-jalan” keluar dari kesibukan kampus dan kepenatan kota. Seolah sudah menjadi tradisi, sebuah perjalanan pastilah mengawali pekan ujian kami. Kebanyakan orang mungkin lebih memilih waktu setelah ujian untuk melakukan refresh. Namun bagi kami, pikiran justru harus ditenangkan sebelum ujian. Jangan heran saat semua mahasiswa sibuk membolak-balik buku dan mengerjakan soal-soal, kami malah asyik mencicipi makanan khas beberpa daerah atau sibuk berpose di tempat-tempat yang menjadi ciri khas kota yang kami kunjungi.

Untuk UTS kali ini tidak ada rencana jelas akan ke mana kami. Belum lagi masalah akhir bulan yang menandakan dana yang terbatas. Kami pun mempertimbangkan banyaknya tugas yang diberikan. Perjalanan pun nyaris dibatalkan. Sampai akhirnya kami harus mereduksi beberapa hal. Pertama, perjalanan hanya dilakukan sehari tanpa menginap. Kedua, BM 4775 CF harus diistirahatkan dengan pertimbangan menghemat ongkos dan menjaga kondisi tubuh agar tetap fit. Kami pun memilih moda kereta api yang lebih murah, dan Blitar adalah tujuan. Tanpa alasan yang jelas memang. Mungkin karena belum penah ke sana. Yang jelas, bagi kami tujuan bukan hal yang terlalu penting. Yang penting adalah keluar dari Surabaya. Jauh dari kampus tercinta. Bukan untuk melupakan, tapi untuk lebih mencinta (heheee…ngegombal dikit).

Rapih Dhoho yang akan membawa kami ke Blitar via Kertosono berangkat pukul 04.55 WIB. Sayang, hanya karena terlambat bangun beberapa menit saja, kami harus menunda sampai keberangkatan berikutnya, 08.10 WIB, estimasi kedatangan pukul 13.30 di Blitar. Rencana untuk turun di Tulungagung dan mampir sebentar di Trenggalek pun dibatalkan, sebab kereta terakhir dari Blitar menuju Surabaya berangkat pukul 16.40. Tidak ada waktu untuk menyambangi Trenggalek, hanya karena telat bangun. Pelajaran pertama, satu rencana mengalami keterlambatan maka rencana berikutnya akan ikut terganggu. Sama halnya dengan kereta api, satu terlambat maka kereta selanjutnya akan ikut terlambat (untuk kondisi di Indonesia). Meski begitu, kami harus tetap jalan. Menjauh dari Surabaya.

Jalur yang dilalui kereta api memang membosankan. Hanya satu rel lurus tanpa pemandangan kaca yang mengasyikkan. Sawah…….sawah…..dan sawah. Itu saja. Tapi jika kita menyikapinya dengan sedikit arif, sabar, dan penuh rasa syukur. Sawah pun bisa memberikan segalanya. Perjalanan Surabaya-Blitar tak pernah lepas dari tanaman padi ini. Berakhirnya musim hujan adalah masa panen bagi para petani, padi sudah menguning, petani pun menikmati yang ditanamnya. Di beberapa tempat, padi baru telah tersemai, lahan pun sedang disiapkan, padi lama dibabat, traktor-traktor bekerja, petani pun mulai menanam. Semua ini terangkum dalam perjalanan menuju Blitar. Apa yang kami lihat, apa yang dilakukan petani, dan apa yang terjadi di sawah membentuk harmoninya sendiri. Alih-alih membosankan, kami justru mendapatkan simfoni hidup kesearian petani beserta hamparan sawah dan harapan mereka. Pelajaran kedua, jika hal sederhana mampu kita anggap luar biasa, maka hal itu akan menjadi luar biasa bagi kita. Semua tergantung dari apa yang kita pikirkan.

Di dalam kereta, kami harus mengalami masa-masa yang belum pernah kami alami, setidaknya untuk waktu selama itu. Jika biasanya kami bebas berbuat apa saja dengan BM 4775 CF, tidak demikian dalam kereta ekonomi Rapih Dhoho jurusan Surabaya-Kertosono-Blitar. Kita tidak bisa berhenti semaunya. Duduk pun harus berbagi dengan penumpang lainnya dengan tetap menjaga kesopanan. Berkeringat sudah semestinya, apalagi jika kereta berhenti di tiap stasiun. Belum lagi asap rokok yang terkadang mengepul dari beberapa mulut penumpang. Mau tidak mau dan suka tidak suka, semua itu adalah bagian perjalanan kami. Meski begitu, kami jadi tahu banyak hal dari Rapih Dhoho. Tahu bagaimana rasanya naik kereta ekonomi, tahu informasi-informasi baru dari penumpang lain, dan tahu bagaimana enaknya pecel Kertosono, jajanan kereta seharga Rp 2000. Salah satu penumpang di samping kami pernah mengatakan, naik kereta ekonomi itu melatih kesabaran, sabar dalam menunggu kereta berhenti saat kres dengan kereta lain, sabar dalam udara panas, sabar dalam berdesakan, dan sabar dalam segala ketidaknyamanan. Kami jadikan hal itu pelajaran ketiga, dan kami menikmatinya.

Tulungagung-Blitar matahari tidak lagi menyengat. Awan mulai mendung. Titik air pun mulai membasahi kaca jendela kami. Dan akhirnya hujan pun turun. Hujan selalu nikmat untuk dirasakan. Hujan selalu hikmat untuk diresapi. Perjalanan pun semakin terasa menyenangkan. Sampai Stasiun Blitar, hujan masih turun. Sepertinya Blitar menyambut kami dengan keramahan dari hujan yang diberikannya. Kami pun bersyukur dengan mendirikan kewajiban lima waktu. Sebelum akhirnya menjelajah kota Blitar dalam waktu kurang dari 3 jam. Sebab kereta terakhir ke Surabaya, Penataran, berangkat pukul 16.40.

berpose dulu....narsis dikit tak apalah

Kami tak tahu Blitar. Ini pertama kalinya kami menginjakkan kaki di salah satu kota di selatan Jawa timur ini. Dengan waktu yang sedikit kami hanya ingin ke Alun-alun sebagai wajah kota yang juga selalu ada di setiap kota di Jawa dan tentu saja Makam Sang Proklamator, Soekarno. Hanya itu yang kami tahu. Jika menggunakan BM 4775 CF, kami akan sangat mudah bertanya dan mencari. Namun sekarang tidak. Tapi justru kami berkesempatan memanfaatkan kearifan lokal yang ada, becak. Sayang, hujan belum reda sehingga kami tidak leluasa menikmati kota dalam perjalanan menuju Makam Bung Karno.

sudut-sudut perpustakaan..keren kan?

Subhanallah…….kekaguman adalah rasa yang pertama kami rasakan saat pertama memasuki komplek wisata makam Bung Karno. Yang kami lihat pertama adalah perpustakaan dengan desain yang sungguh artistic. Selera orang mungkin berbeda-beda. Tapi desain perpustakaan Bung Karno di Blitar benar-benar memanjakan mata kami. Dalam gerimis kami disuguhi sebuah bangunan yang amat sangat futuristic. Nilai 8 dari sepuluh untuk arsitekturnya. Sayang waktu tak mengizinkan kami menikmati isinya. Kami hanya puas di lingkungan makam, menikmati beberapa pendopo yang tak kalah indah arsitekturnya, melihat ritual beberapa pengunjung, dan dengan hikmat hanya meresapi bahwa di bawah sana terbaring jenazah seorang founding father bangsa. Teringat akan kata-katanya, “aku titipkan Indonesia padamu!”

di depan pintu masuk makam

ukiran langit-langit pendopo makam...


suasana makam..

Hari semakin sore, kami harus bergegas. Alun-alun pun hanya kami lalui sekilas. Sekilas mengambil gambar dan sekilas membagi kecerian bersama arek-arek Blitar. Tujuan selanjutnya adalah mencari makanan khas Blitar. Perut sudah lapar, maklum saja seharian baru terisi oleh pecel Kertosono. Dari abang becak, makanan khas Blitar hanya pecel. Sayang sekali, jauh-jauh dari Surabaya haruskah makan pecel. Kami pun lebih memilih warung lokak di area stasiun Blitar sore itu. Warung asli Blitar yang menyediakan makanan khas Jawa Timur bagian Selatan. Gulai daun singkong, telur dadar, dan kresengan tahu tempe. Khas sekali daerah selatan, pedas dan maknyuuussss. Cukup untuk menemani sisa waktu menunggu Penataran datang.

di alun-alun.....


berbagi keceriaan bersama arek-arek Blitar

Penataran baru tiba sekitar pukul 17.45. Terlamabat lebih dari 60 menit dari waktu seharusnya. Penumpang tentu saja mengeluh. Namun gerutuan mereka reda dengan sendirinya saat mendapat bangku kosong. Jika hari itu adalah hari Ahad, kemungkinan besar kami pun akan berdiri. Kereta berangkat……hari pun semakin gelap.

Salah satu hal yang ingin kami lihat saat melakukan perjalanan ke Blitar adalah dua terowongan kereta pada jalur Blitar-Kepanjen. Namun gelap sudah melarut, kami pun tidak bias melihat apa-apa di luar. Hanya sekedar tahu kalau sekarang sedang melewati terowongan tanpa bisa melihat dan merasakan sensasinya. Keterlamabatan kereta mungkin yang bisa disalahkan. Tapi telat bangun tetap menjadi awal dari segalanya. Ini semua bukanlah perjalanan yang sempurna. Kami batal ke Trenggalek, tidak bisa menjelajahi ilmu di Perpustakaan Bung Karno, dan tidak bisa merasakan sensasi melewati terowongan. Pelajaran keempat, perjalanan yang tidak direncanakan memang akan menimbulkan hal-hal baru tak terduga, namun perjalanan yang direncanakan akan mendapatkan hal-hal yang lebih memuaskan. Kami merasakan itu pada perjalanan kami kali ini yang berprinsip “yang penting berangkat dulu”.

menunggu kereta

Sampai Malang, banyak penumpang turun, kereta menuju Surabaya mulai sepi. Kami manfaatkan bangku kosong untuk berbaring. Menjaga barang berharga, membuat bantal dari tas, meregangkan kaki, dan kemudian terlelap. Pelajaran terakhir yang kami dapat dari perjalanan ini adalah banyak pelajaran yang kami dapatkan. Maka jangan pernah bosan untuk jalan-jalan, karena akan selalu ada pelajaran dalam setiap perjalanan.

Senin, 09 Maret 2009

Satu Tempat yang Terlupa

Yo……ayooo
Ayo Persebaya…

Sore ini…..

Kita harus menang…….!


Lagu itu bergemuruh menghentakkan stadion. Mengangkat emosi para penonton ke puncak tertiggi. Emosi yang juga dirasakan 11 pemain berbaju hijau. Untuk menang!
Sebuah nada dari Amerika Selatan, Chile tepatnya. Lagu yang digubah liriknya dan telah meng-Indonesia. Sederhana namun menggetarkan. Lagu inilah yang dibawakan Bonek Mania ketika mendukung laskar Bajul Ijo sore itu.

tanggung-tanggung, langsung ke stadion sekelas Gelora Sepuluh Nopember (GSN) yangUntuk pertama kalinya dalam sejarah hidup. Menjejakkan kaki di sebuah stadion. Gak kabarnya juga diproyeksikan untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia. Bukan berarti akhir pekan tidak ada agenda. Tapi kami (saya, Fatih, Ibnu) hanya ingin merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakan. Sesuatu yang tidak banyak dikenal orang Surabaya. Sesuatu yang sepertinya hanya pernah dirasakan para Green Force. Sesuatu yang hanya ada di Tambaksari. Datang sajalah dan rasakan.............

antri....

***
Belum lagi matahari condong ke Barat, jalan Tambaksari sudah sulit dilalui kendaraan. Lautan hijau sudha memenuhi pelataran stadion. Datang dari berbagai penjuru Surabaya, mulai Surabay bagian utara, selatan, barat, sampai timur semua berkumpul pada satu titik. Beberapa sudah antri di depan pintu masuk kelas ekonomi. Padahal suara peluit dimulainya pertandingan masih 2 jam lagi dibunyikan. Tiket masih saja laris manis. Gerombolan-gerombolan Ijo terus saja berdatangan. Semakin menyesakkan Tambaksari. Tak jauh dari kerumunan, puluhan brimob telah siaga. Mobil water canon pun terparkir dengan gagahnya. Berjaga.
Selepas Shalat Ashar kami pun turut mengantri di depan pintu tribun utama sisi kanan (SKA). Ada tiga macam tiket di GSN, VIP seharga Rp 50 ribu, Tribun Utama seharga Rp 30 ribu dan kelas ekonomi Rp 15 ribu. Kelas ekonomi memenuhi tiga per empat tempat duduk stadion. VIP dan tribun utama berada di sisi barat dengan bonus atap penjaa dari panas dan hujan. Bedany, VIP memakai kursi bersandar dari plastik. Sedangkan tribun utama dan ekonomi duduk di lantai berundak. Berbaur dengan penonton lainnya. Bersorak bersama dan melenguh bersama pula.

Bonek mania..

Sore itu, Persebaya kedatangan lawan dari Persitara Jakarta Utara untuk menjalani Leg I Copa Indonesia babak Perdelapan Final. Wajar jika animo Bonek mania cukup tinggi. Tercatat dalam pengumuman, ada 21 ribu orang memenuhi stadion sore itu. Mereka pun hanya melawan puluhan suporter Persitara yang ada di depan kami. Sebuah noktah biru kecil di belantara hijau stadion. Sepertinya 11 pemain Persitara di lapangan pun dibuat ciut nyalinya. Siapa sih yang tidak kenal Bonek?

Pertandingan cukup keras di awal babak pertama. 4 kartu kuning sudah keluar. Bonek pun mulai memanas. Kecewa dengan kinerja wasit dengan meneriaki ”wasiit ngantuuuk” atau karena kinerja pemain Persebaya yang tidak sesuai harapan mereka. Di sinilah chemistry berada di stadion bersama puluhan ribu orang benar-benar terasa. Diiringi yel-yel Bonek mania, semua menjadi melodi yang mengguncang emosi. Emosi yang hanya di dapat di stadion, tidak saat menonton di televisi, tidak pula saat menikmati action di bioskop. Datang sajalah dan nikmati sendiri............

Kita akan spontan berdiri saat muncul peluang di depan gawang. Semua akan kecewa saat peluang tersiakan. Semua akan marah saat pemain di langgar. Semua.....tidak ada yang tidak. Ribuan orang tersebut pun mampu membaut orang yang tidak suka sepakbola untuk bangkit melonjak meninju udara dan berteriak kegirangan saat gol tercipta. Berteriak sejadinya....emosi pun terpuaskan. ”OOoooooOOOooooooo......OoOooOOoOoooooOO...oooo”

Inilah sebuah hiburan yang tidak banyak dikenal di Surabaya. Sebuah tempat yang tidak masuk dalam objek yang dikunjungi di Surabaya. Tidak bagus tempatnya namun indah dilihat mata. Kumuh dan berjubel terlihat namun nyaman terasa. Bukankah hijau adalah warna yang nyaman dan menentramkan. Saat Persebaya bermain, tidak hanya lapangan, stadion akan berubah menjadi hijau. Emosi itu semakin terasa. Datang sajalah dan nikmati....!

Dua gol tercipta sore itu untuk keunggulan Persebaya. Tidak sia-sia. Rp 15 ribu untuk satu gol yang kami lihat dari Tribu Utama plus kepuasan batin yang hanya satu tempat yang bisa memberinya.

***
Di tengah pertandingan situasi memanas saat masih saja ada Bonek mania melempar barang ke tenga lapangan karena kecewa pada wasit. Suporter Persitara yang hanya puluhan itu pun mengluarkan yel-yelnya.....
Kami tidak suka rusuh
Rusuh itu tiada guna

Kita ini satu bangsa

Bangsa Indonesia

pulang dengan kemenangan

Jumat, 06 Maret 2009

Majalah Itu Terselamatkan Mukanya

Majalah edisi pertama untuk tahun 2009 sebentar lagi terbit. Asyik....asyiikkkkk....asyiiiiiiiiiiiiiikkk. Perjuangan anak-anak Online bakal terbayar dengan terbitnya majalah itu. Terbit saja kami sudah senangnya bukan main. Ada kepuasan saat melihat kerja keras (padahal banyak yang telat) kami berbuah. Dalam hati kecil kami, tak dibayar pun kami rela. Kepuasan itu melebihi apapun. Heheeeee

Namun, kepuasan itu hampir saja raib di detik-detik terakhir sebelum draf naik cetak. Semua ini gara-gara cover yang satu ini...ni......

Maksudnya sih baik dengan menampilkan mereka di halaman depan. Mereka-mereka yang telah berprestasi mewakili beberapa mahasiswa lainnya yang menunjukkan ke-eksis-annya pada bidang-bidang tertentu selain kuliah. Tapi koq keliatan seperti majalah remaja. Deteksi banget gituu.... bagus memang dan enak dilihat dan pastinya cukup menarik perhatian pembaca untuk melihat isinya.

Tapi koq ya gak ITS banget gitu. Bisa dipastikan nantinya bakal muncul pro dan kontra. Setelah akhirnya melewati waktu-waktu genting, munculnya ide tak terduga, lobi-lobi yang alot (heheeee), dan berbagai macam pertimbangan. Muncullah cover yang satu ini.

Sebuah karya Hanif Santoso..............maknyus Nif

(tapi yang pertama juga karya Hanifsan.....heheeee)

Senin, 02 Maret 2009

Aku Cenderung Berbudaya Barat?!?

Seniman Tiongkok, Yang Liu, yang menempuh ilmu di Jerman pernah membuat sebuah ilustrasi yang membedakan antara budaya baran dan budaya Asia. Setidaknya terdapat sembilan ilustrasi yang dibuatnya. Anggap saja ilustrasi ini benar adanya dan memang terkesan benar adanya, beberapa diantaranya menyimpulkan bahwa seoarng Emal lebih dekat kepada budaya barat. Berikut rinciannya.

(Opini) Orang Asia cenderung berbelit-belit dalam hal berargumen, terkadang harus berputar-putar dulu untuk mengatakan sesuatu, padahal maksudnya tidak serumit yang dimaksud. Beda dengan orang Barat, langsung ke pokok masalah dan mereka nggak biasa basa-basi. Kalo aku memang gak suka basa-basi...apalagi ngeliat orang yang penuh dengan kepura-puraan dan suka mencari perhatian. Muak banget deh pokoknya.

(Waktu) Orang Asia terkenal kurang menghargai waktu, kalau ada janji, kadang tidak tepat waktu, banyak alasan. Orang Barat paling nggak suka kalau janji jam karet alias telat waktu. Jam karet dah biasa di Indonesia. Saking biasanya sampai hal yang salah dianggap hal yang lumrah. Paling males kalau memang harus menunggu. Dan menunggu adalah hal yang paling aku benci yang sayangi sering kualami.

(Gaya hidup) Orang Barat cenderung individualis, berbeda dengan orang Asia, kalau orang Asia khususnya Indonesia, makin senang kalau tetap deket sama keluarga, makan ora makan kumpul. Saat teman-teman pengen banget pulang kampung beberapa kali sebulan, aku yang jauh gak ada kangen-kangennya ma keluarga.

(Hubungan) Karena orang Barat lebih individualis, maka dalam pertemanan ataupun bersosialisasi cenderung terbatas, berbeda dengan orang Asia dimana dalam bersosialisasi atau pertemanan lebih komplek, makanya situs jejaring Facebook ataupun Friendster lebih banyak diminati oleh orang Asia, khususnya Indonesia. Kalau orang Barat sekedarnya saja. Kalo yang ini sih mendekatilah. Daripada kumpul rame-rame mending beberapa saja. Facebook pun menjadi nomor kesekian kalo sedang ngenet. Malah keseringan lupa buka.

(Perayaan/pesta) Jika ada kenduri atau pesta orang Asia lebih suka mengundang orang sebanyak mungkin kalau sedikit rasanya nggak afdol, bahkan ada yang buat acara beberapa kali dan dilokasi yang berbeda, contohnya dalam acara pernikahan, benar-benar pemborosan, berbeda dengan orang Barat, mau acara pernikahan saja undangannya lewat Fax. dan nggak semua orang diundang, cukup kerabat atau teman dekat, lebih sederhana dan nggak boros biaya. Kalo aku malah gak suka pesta. Lebih berat dari barat donk...

(Terhadap sesuatu yang baru) Orang Barat kalau ada sesuatu yang baru, tidak serta merta keblinger pengen tahu dan pengen memiliki atau memakainya , hanya sekedar tahu saja, berbeda dengan orang Asia, kalau ada sesuatu yang baru, belum puas kalau belum sampai memilikinya, makanya nggak heran kalau orang Indonesia banyak yang konsumtive, punya handphone gonta ganti, bahkan ada yang koleksi HP, mobil tiap tahun gonta-ganti, hanya karena nggak mau ketinggalan model. Di saat semua orang sudah jeprat-jepret pake HP. Aku masih saja nge-game Snake di HP. Saat status chating semua orang ada tambahan on my mobile atau i’m on sms atau apalah, aku masih saja terkdang pake status not at desk. Karena pake HP itu yah seperlunya saja. Kolot yach…..

(Anak)……sory, belum punya anak nih.

(Trendi) Jika orang Barat lebih seneng sesuatu yang berbau traditional dan alami, kebalikannya kalau orang Asia belum disebut trendi kalau tidak bergaya ke barat-baratan, contoh : orang Asia lebih merasa gengsi kalau makan di tempat fast food, padahal dinegara asalnya makanan tersebut bisa dibilang makanan biasa saja. Yang jelas Wapro lebih maknyus daripada Hanamasa. Mau tau kenapa? Karena belum pernah ke Hanamasa.

(Atasan/bos) Ini yang menarik, orang Asia umumnya memperlakukan atasan lebih dari yang lainnya, nggak sedikit yang j**at p**t*t , dan sang atasannya pun senang diperlakukan seperti itu. Berbeda jika di Barat, atasan tidak terlalu menonjolkan diri sebagai yang punya kuasa penuh, tetap sejajar dengan bawahan, namun tetap punya kekuasaan dan diakui sebagai atasan. Sebenarnya belum punya bos ataupun bawahan secara struktural sih. Tapi, dosen aja sering dipanggil namanya aja (dalam sms...heheee)

(Masa tua)....maaf lagi, aku belum tua.

(Transportasi) Dahulu orang Barat sewaktu muda lebih suka pakai mobil, sekarang malah lebih suka pakai sepeda, mungkin karena faktor pentingnya kesehatan berbeda dengan orang Asia, kalau dulu masih pakai sepeda (mampunya beli sepeda) sekarang sudah harus pakai mobil, kalau mampu lagi pakai supir pribadi. Susah nilainya kalo yang satu ini. Silakan bagi yang lain yang mau nilai.

(Di tempat makan) Ditempat makan, kalau orang Barat cenderung tertib jika sedang makan, nggak rame dan seberisik orang Asia. Kalo yang satu ini masih Asia banget. Makan diem mana seru. Kecuali makan sendiri.

(Wisata) Kalau lagi wisata, orang Asia paling suka photo-photo, beda sama orang barat, kalau ke tempat wisata lebih suka mengamati keindahan suasana daripada photo-photo. Kalo yang ini dua-duanya dilakuin.

(Keindahan tubuh ideal) Orang Barat merasa ideal punya warna kulit tubuh kecoklat-coklatan, makanya sering berjemur dipantai, beda kalau orang Asia terutama orang Indonesia, malah sangat mendambakan warna kulit putih, makanya di Indonesia paling laku tuh artis-artis Indo, malah nggak banyak yang kawin sama bule, biar memperbaiki keturunan. Kalo aku sih cukup seperti ini saja.

(Menghadapi masalah ) Kalau orang Asia lebih umum berpikiran bagaimana supaya bisa menghindari masalah, berbeda dengan orang Barat, bagaimana jika saya menghadapi suatu masalah. Makanya jangan heran kalau di Indonesia orang mau sukses ambil jalan pintas, mau bisnis sukses, main suap rekan bisnis, mau anak sukses jadi pegawai negeri, main suap sana suap sini, mau jadi caleg, asal punya duit jadi deh nomor urut 1, nggak sedikit yang datang ke dukun supaya lebih tercapai cita-cita jadi anggota dewan. Kadang barat...dalam beberapa hal jadi ke-asia-nan. Tapi gak sampai ke dukun segala, apalagi nyuap. Yang masih cerdas sajalah.

(Marah) Kalau orang Barat lagi marah, memang benar-benar marah, beda kalau orang Asia lebih banyak memedam amarah, terkadang ada istilah dibalik senyuman ada kebencian. Benci banget kalo ada orang marah tapi dipendam-pendam. Bikin gak enak hati. Abisnya dikeluarin di belakang kemudian.

(Percaya diri) Suka tidak suka orang Barat lebih percaya diri dibanding orang Asia. Kalo aku gak percayaan diri banget nih. Asia banget deh

(hari Minggu) Orang Asia lebih suka menghabiskan waktu hari libur Sabtu dan Minggu pergi jalan-jalan, sekedar pergi ke Mall, nonton bisokop, kongkow-kongkow, beda dengan orang Barat, lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dibanding pergi jalan-jalan. Wah..gak ketinggalan jalan-jalan akhir pekan. Hayo...mau kemana akhir pekan ini. masih Asia benget kalo yang satu ini.

(Makan) Umumnya orang Barat makan dibagi 3, makan pembuka, makanan Utama, dan makanan penutup, beda kalau orang Asia ketiga2x-nya makanan utama, alias Nasi tambah lagi cie !(logat padang). Kalo yang satu ini sih Indonesia banget. Nambah itu wajib kalo bisa.

Ternyata aku memang barat banget. Masa sih..perlu dicek ulang memang dengan teori yang lebih akurat.
lalu bagaimana dengan kalian??

Perjalanan yang Berbeda

Tanpa dinyana-nyana, jalan-jalan juga akhir pekan ini. Ditengah kepenatan studi pustaka untuk bahan proposal sembari menunggu para reporter mengirim berita majalahnya, siapa sangka ada saja waktu untuk jalan-jalan. Pengen sih tiap akhir pekan kelaur kampus ntah kemana......pastinya bareng Ali yang memiliki kemungkinan paling besar untuk bisa diajak. Apa daya, semester ini Ali justru sedang sibuk-sibuknya mengurusi tugasnya. Gentian Li, semester kmarin aku yang sibuk. Rasakanlah dan nikmatilah...huahaaaa

Sabtu (28/2) kemarin diminta tolong Pengmas BEM ITS turut serta untuk menyalurkan bantuan korban bencana banjir ke Bojonegoro. Berawal dari permintaan Infokom untuk mengirim reporter ke Bojonegoro plus yang bisa bawa mobil. Waduh, Sabtu itu reporter meliput semua dan yang bisa nyetir tersisa diriku. Berangkatlah sudah. Dengan syarat......

Satu, mobilnya harus yang OK. Dapatlah Rush. Kalo seperti ini siapa yang nolak. Coba suruh bawa kijang atau panther, kemungkinan besar ditolak karena sudah biasa bawa yang begituan. Heheeeee. (statement ini sedikit dilebih-lebihkan, apaun mobilnya berangkat koq, yang penting jalan-jalan). Kedua, aku gak mau ngeliput because sebenarnya itu tugas Infokom. Nah ITS Online yang seharusnya dapet berita dari Infokom BEM. Bukan sebaliknya seperti yang selama ini terjadi. Tapi karena anak-anak Infokom gak ada yang bisa ikut...apa mau dikata, dengan penuh rasa tidak tega kujalani keduanya. Tapi ikhlas koq.

Kutinggal proposalku, tugasku, tulisanku, editanku, dan janjiku dengan orang. Demi sebuah jalan-jalan di akhir pekan. Jadi sebenarnya saat Elly (Sekmen Pengmas) menanyakan apakah gak ganggu aktivitasku, ya sedikit berbohong ku jawab ”gak papa koq!” Duh...maaf ya mbak.

Delapan orang. Dua dari Brawijaya, lima dari Pengmas BEM ITS, dan aku. Berangkat dengan dua mobil, Panther ma Rush. Satu mobil isi empat orang plus tumpukan kardus-kardus bantuan. Mobil pertama (panther) berisi Pram ma Reike dari Pengmas dan dua perwakilan dari UB. Mobil satunya lagi ada Elly, Niken, ma Endi yang juga dari Pengmas plus aku yang nyetir. Wuakakakaaakk......akhirnya nyetir lagi. Sebenarnya tuh mobil punya Niken, karena jauh dimintalah aku yang bawa. Mungkin gitu kali yah.
Berangkat..........Laii

Tidak ada matahari Sabtu. Sepanjang jalan ada saja rintik hujan yang turun. Mau deras, gerimis, setetes, yang jelas pasti ada yang turun. Benar-benar hari yang indah. Coba saja setiap hari hujan...nyaman rasanya. Perjalanan pun menjadi menyenagkan. Asyik...acik..aciiik. Surabaya, (pinggiran) Gresik, Lamongan, dan Babat. Dampak luapan mulai terlihat. Sawah-sawah terendam, rumah di bantaran sungai mulai tampak tergenang, tanggul-tanggul bersusun-susun dan dari celahnya merembes air Bengawan Solo. Serem juga kalo tanggulnya jebol.....

Tepat saat Zuhur kami tiba di Bojonegoro. Sebelum masuk ke lokasi bencana kami putuskan Shalat dulu...trus makan dulu. Bagian ini yang paling ditunggu-tunggu. Makaaaaaaan. Cari warung dapetnya pecel ma Rawon. Agak beda sih...mungkin ini khas Bojonegoro. Tapi seharusnya aku melayangkan protes ke Pengmas. Pasalnya aku hanya dapat satu porsi, padahal aku ikut tidak hanya sebagai reporter, tapi merangkap sopir. Wah gak bener ini. Ini sama aja dua orang diberi makan satu piring. Pengen sih minta lagi.....tapi malu. Heheeeeee

Lanjut......jalan akses pertama sudah tergenang. Mencapai kepala orang dewasa katanya. Berputarlah kami lewat jalan lain. Alhamdulillah aman dan sampai tujuan.

Kali ini bukanlah perjalan yang biasa dilakukan sebelum-sebelumnya. Memang banyak hal-hal baru sekaligus enak dipandang mata yang biasa kudapati dalam setiap perjalanan. Namun kali ini ada kata baru yang terselip diantara semua keindahan itu. Bencana.

Ternak itu sudah berjajar di kiri kanan jalan. Beratap terpal seadanya mereka berlindung dari hujan gerimis yang belum juga berhenti. Luapan Bengawan membuat mereka harus turut mengungsi. Merekalah ekonomi para penduduk setelah ribuan hektar sawah terendam. Perjalanan terus berlanjut menuju posko bantuan di kantor kecamatan. Genangan banjir semakin terlihat dimana-mana. Sekolah dan beberapa rumah tak luput dari genangan. Perjalanan kali ini agak berbeda dengan sebelumnya. Meski masih bisa tersenyum atau bercanda tawa, ada rasa yang lain dalam hati ini.

Setelah urusan serah terima bantuan selesai. Kami berkesempatan melihat tanggul yang dibangun warga. Semakin miris saja melihat penduduk tetap bertahan dalam genangan. Mereka pun hanya menuggu makanan dari dapur umum. Kesehariannya pun tak lepas dari meninggikan tanggul dan terus meninggikan. Tak lain agar daerah sebelahnya tidak turut terendam. Mengorbankan yang satu untuk menyelamatkan yang lain. Ohh...so sweet. Hujan tetaplah hujan....banjir ya banjir.....senang tetap senang. Inilah Indonesia, diamana masyarakatnya tetap saja bisa tertawa dan sumringah.

Hari beranjak sore. Kami pun mesti pulang. Setelah foto-foto sejenak. Kami tinggalkan lokasi bencana dengan bantuan seadanya. Semoga mampu meringankan meski hanya sementara. Tak banyak pula yang dapat diceritakan karena kami hanya sekilas berada di lokasi bencana. Ingin rasanya berdiam lebih lama.......

Perjalan ini memang berbeda. Selain karena ke temapt yang berbeda dan dalam situasi yang berbeda, juga karena bersama orang-orang yang berbeda. Semuanya baru pertama kali kukenal. Hanya beberapa saja yang pernah selayang pandang. Namun sebuah perjalanan yang cukup untuk mengidentifikasikan seperti apa kami semua. Hanya dengan sebuah perjalanan kita dapat mengerti bagaimana teman seperjalan kita.
Seorang supervisor pernah berkata, kita bisa mengetahui pribadi seseorang dari tiga waktu. Saat bertransaksi, saat bermalam bersama, atau saat melakukan perjalanan bersama. Heheeee..ada benernya juga sih.

Sampai kampus sekitar pukul 20.30. Terlambat dari waktu yang diperkirakan karena harus berputar dulu di Babat. Ada tanggul jebol, jalan utama ditutup, lalulintas pun dialihkan. Tak apalah...toh dalam mobil ini.

Sampai kampus langsung menuju kantor dalam sambutan Mas Jo. Ada juga teman untuk menginap. Heheee.

”Gimana Mal, dikasih makan apa sama BEM?” tanya mas jo malam itu.
”Rawon mas, siang tadi.”
”Hiahahaaaa....jauh-jauh ke Bojonegoro dikasih rawon.”
”Ndak papa mas, yang penting bisa nyetir bawa mobil bagus.” jawabku
”Mal...mal...., hobi koq jadi sopir!”




NB: Butuh sopir! Jangan sungkan menghubungi saya. heheeeee