Jumat, 23 Januari 2009

Ooohhhhhh.......Aspal! (Hari ke-1)

Bubur Jakarta yang merupakan satu-satunya bubur yang dijajakan di Keputih telah mengawali perjalanan kami pagi (25/12) itu. Nikmatnya bubur yang kami santap diharapkan menular pada nikmatnya perjalanan menuju Magetan. Untuk kesekian kalinya, Emal dan Ali melakukan perjalanan. Perjalanan dengan satu motor. Berdua saja…..
Tujuan = Gunung Lawu
Lokasi = Kabupaten Magetan
Rute = Surabaya-Mojokerto-Jombang-Kertosono-Nganjuk-Caruban-Madiun-
Maospati-Magetan.
Kami sudah bosan dengan jalur yang satu ini. Rute itu-itu saja setiap akan menuju daerah barat Jawa Timur. Jalur konvesional memang mudah, cepat, dan hemat. Sungguh sangat efisien memang. Tapi MEMBOSANKAN. Kami bosan menelusuri jalanan arteri lebar tanpa sesuatu yang sedap untuk dipandang. Kami jengah harus berjibaku dengan besarnya truk-truk besar dan ugal-ugalannya bis antar kota. Kami muak harus bertarung dengan cepatnya Panther, Jazz, Yarist, atau LSX sekalipun. Pun kami sudah tidak tertarik lagi menelusuri lorong-lorong Jombang, Nganjuk, Caruban ataupun Madiun. Berjibaku dengan padatnya kota yang harus pula disela banyaknya traffic light.

Sungguh, kami bosan kawan! BM 4775 CF butuh lebih dari sekedar kenyamanan, butuh sebuah kebebasan, dan butuh……..tantangan. kami putuskan memakai rute baru. sebuah rute yang tidak akan pernah dibayangkan orang jika hendak bepergian dari Surabaya ke Magetan.

hamparan sawah


Surabaya-Menganti-Benjang-Balongpanggang-Mantup-Ngimbang-
Sukorame-Kedungadem-Temayang-Bubulan-Sekar-Kaliklampok-
Karangjati-Ngawi-Maospati-magetan. Keluar melalui Jalan Menganti Raya di Surabaya Barat dan akan keluar di ruas Caruban-Ngawi, tepatnya daerah Karangjati. Sebuah rute yang tidak akan pernah kami lewati lagi jika akan ke Magetan. Kami bersumpah.

mereka yang di sawah


Awalnya kami mendapatkan apa yang kami inginkan. Jalanan lengang meski dengan lebar seadanya. Kondisi jalan dengan aspal yang cukup baik. Sepanjang jalan kami melewati sesuatu yang berbeda-beda. Terkadang kita akan dimanjakan oleh hamparan sawah hijau. Lain waktu melewati padang palawija. Hutan jati pun tidak sedikit untuk ditemui. Bahkan suatu saat kami pernah menemukan hutan jati yang tumbuh di sawah. Satu hal yang cukup menyenangkan adalah bertegursapa dengan setiap orang di setiap kota yang kami lalui. Sekedar untuk menanyakan arah, sebab peta yang kami bawa agak sedikit membingungkan. Maklum saja, rute yang kami lalui bukan jalan arteri atau jalan nasional, bukan pula jalan propinsi.

para pencari kayu bakar


demi anak istri, sendiri dalam belantara


Setelah melewati banyak bukit dan lembah tanpa harus mengantri di traffic light, kami pun sampai di Temayang. Sebuah kota kecil di Kabupaten Bojonegoro. Jalan pun bercabang, kami pun memilih arah kanan. Inilah awal malapetaka kami. Dari Temayang, selanjutnya kami akan melalui daerah Pegunungan Kendeng. Salah satu pegunungan di Jawa Timur yang memangjang di bawah Pegunungan kapur Utara.

“Kebosanan mulai merasuki kami. Ketakutan pun mulai menunjukkan tajinya.”


Sampai di Bubulan kami kembali bertanya, “Oh…Sekar. Banyak perempuan cantiknya tapi kasar.” Begitu kata bapak tua yang kami temui di pasar. “Trus aja …..lewat hutan itu! Nanti ada penjaga hutan di pertigaan tanya saja lagi!” terang bapak tua. “ati-ati harimau!” peringatnya lagi dengan bercanda. Dan kami benar-benar melewati hutan. Setelah bertanya di pos kehutanan pada jagawana kami pun masih melewati hutan. Peringatan bapak tua tadi teringang kembali. “ati-ati harimau!”

jalan inilah yang kami lalui


Kami masih berada di hutan. Jalan mulai menanjak pertanda telah memasuki daerah pegunungan. Hutan belantara yang rimbun pohonnya memang telah kami lalui. Tapi kami masih berada di hutan, karena memang tidak ada rumah di sekitar kami. Hanya ada hehijauan dan kayu-kayu kering di sana sini. Parahnya jalanan tidak lagi aspal, tapi tanah. Bayangkan, saat Surabaya-Solo akan menjadi tol, kami melaluinya di tanah-tanah berkerikil yang tak jelas rimbanya. Di hutan ini, kami hanya menemui para pencari kayu bakar. Sepanjang jalan ada saja yang mencari kayu bakar. Entah akan digunakan untuk apa atau akan dibawa kemana. Kami terlalu lelah dan matahari pun telah tinggi untuk sekedar berhenti bertanya.

jembatan Surabaya-Magetan


Kebosanan mulai merasuki kami. Ketakutan pun menunjukkan tajinya. Takut harus mendorong motor karena ban bocor mengingat kondisi jalan yang riskan. Tak jelas kami akan mendorong ke mana dan berapa lama. Belum lagi harimau. “Tenang aja, kalo ada harimau menghadang segera ambil kamera. Ambil gambar harimaunya setelah itu pikirkan nanti!” guyonan yang sedikit menghibur. Dan kami masih melewati hutan. Melewati jalanan tanah sampai akhirnya menemukan sebuah desa. Dan ternyata Sekar yang ada di peta hanyalah sebuah desa.

Pegunungan Kendeng, neraka bagi kami


Secara administrasi, jalur yang kami lalui masuk dalam kabupaten Gresik, Lamongan, dan Bojonegoro. Sepanjang daerah Gresik dan Lamongan jalan masih mulus. Sampai di Bojonegoro, jalan merusak dan banyak desa terpencil seperti Sekar ini. Dari sini saja kami dapat menyimpulkan kesejahteraan sebuah kabupaten dibanding kabupaten lainnya. atau kepedulian daerah pada desa-desa terpencilnya. Tidak kami sangka, sebuah desa kecil yang berada di negeri entah berantah yang hanya bisa dilalui dengan jalan tanah dan beberapa aspal yang telah rusak, bisa muncul namanya di peta.

ladang jagung, hanya sedikit menghibur


Kami teruskan perjalanan, masih dengan jalanan yang rusak parah dan masih dalam daerah teritorial Sekar. Kami sudah benar-benar bosan sehingga tanpa sadar kami baru sampai di Kaliklompok, yang tak jauh beda dengan Sekar. “Jalan rusaknya masih jauh pak?” tanya kami pada seorang bapak. “Wah…yang rusaknya parah 5 km lagi mas.” Lah terus yang gak parah berapa kilo…tanya kami dalam hati. Semangat kami tidak lagi untuk menikmati kanan kiri kami. Yang penting keluar dari penderitaan ini. 5 km benar-benar neraka. Jalan yang kami lalui bukan tanah, tapi bebatuan runcing. 10 km/jam kecepatan kami. Merayap di hutan dengan badan yang mengangguk-angguk karena kasarnya jalan. Dan kami sadar, akan kami pertaruhkan apa saja untuk lebih memilih rute 50 km dengan jalan yang mulus. Sampai akhirnya…………………oohhhhh aspaaaaaaaal.

ooohhhhh....aspal, pertemuan pertama setelah berkilo-kilo melalui tanah dan batu


Kami benar-benar mendapat suasana baru. Namun itu semua lebih dari yang kami inginkan. Yang kami dapat tidak sebanding dengan yang kami alami. “Gimana Li, kita pulang lewat sini lagi?” tanyaku. “Mending mati aja deh!!”

2 komentar:

Unknown mengatakan...

kendeng emang gendeng yak

Putri Baiti Hamzah mengatakan...

I love the picts at all..