Selasa, 23 Februari 2010

Demi Sebuah Keintiman

Sudah 12 jam kami dalam perjalanan. Siapa sangka, dini hari masih di Surabaya, kini kami terjebak dalam ketidakjelasan. Hanya karena informan salah memberi petunjuk antara ke kiri dan kanan, kami berada dalam jalan setapak di tengah ladang semi hutan yang tidak jelas akan ke mana ujungnya. Makadam dan lumpur menjadi alas kendaraan kami. Licin dan mendebarkan karena kami harus melewati punggung sebuah bukit. Lengah sedikit……..habislah kami.

Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00, gelap akan datang. Ketakutan perlahan merasuki kami saat menyadari bahwa kami sedang berada di sebuah desa terpencil di kaki gunung Wilis. Masalahnya, kami jauh dari rumah penduduk. Kami tidak tahu sedang di mana. Tapi kami terus berjalan, meski tidak tahu di mana ujung jalannya. Bahkan kami tidak tahu, apakah jalan ini berujung.

Ada harapan saat akhirnya menemui makhluk sejenis kami yang sedang bekerja di ladang. Alhamdulillah, jalan yang kami lalui berujung meski sebenarnya salah, kata orang yang kami temui tadi. Dan ujung jalan itu adalah desa tujuan kami. Desa Nglutung, Kecamatan Sendang, Tulungagung. Sebuah desa kecil terpencil di kaki gunung Wilis. Desa inilah tempat besar dan lahir seseorang yang kami tuju. Seseorang yang selain tujuan kami juga informan yang telah menyesatkan kami. Agghhhhh…..

Rumah Elok..

Elok. Begitu sapaan akrab orang yang kami tuju. Dengan berat hati, saya tidak dapat memberikan informasi tentang siapa Elok lebih lanjut. Ada waktu untuk itu. Tapi satu hal yang pasti, tujuan kami adalah untuk mendalami siapa Elok itu. Di rumah yang sederhana, kami disambut bak raja. Pertama, kopi panas menyapa kami setelah lelah berkendara. Dan balasan kami adalah mencak-mencak karena Elok salah memberi petunjuk.

Rumahnya sederhana, keluarganya ramah. Setelah kopi, buah-buahan menyambut kami, dan berakhir dengan sebakul nasi, semangkuk sayur rebung, sepiring sambel goreng ati yang dicampur kentang, tahu goreng, dan tidak lupa kerupuk udang. Tidak ada penolakan apalagi basa-basi. Jawaban kami saat ditawari adalah “dengan senang hati”. Dalam hati kami bersorak, inilah yang kami tunggu sedari tadi. Tidak peduli 35 jam sudah badan tidak menyentuh air, yang penting perut harus terisi setelah 10 jam kosong dalam perjalanan panjang dan melelahkan.

bincang-bincang sambil nyami-nyami....


Elok Galih


***
Kami sarapan hanya dengan pecel dan telur ceplok pagi itu. Cukup membuat hangat setelah kedinginan dalam perjalanan. Kami berangkat dari Surabaya tepat sebelum Shubuh. Tujuan pertama kami adalah Malang menemui Ijang. Sebelum akhirnya ke Tulungagung menemui Elok. Harapan kami, pecel seadanya yang kami santap di belakang Universitas Muhammadiyah Malang ini dapat memberi tenaga penuh dalam perjalanan kami sampai siang nanti. Maklum, pagi itu kami memang berencana tracking ke Lembah Kera.

Lembah Kera, suraganya pemanjat


Mencari jalan ke atas

Jalur menuju Lembah Kera memang tidak sulit, tapi lumayan jauh. Bersama Ijang yang kami temui di Malang, kami menelusuri jalanan setapak menembus ladang penduduk. Sekitar 15 menit tebing-tebing tinggi itu pun mulai tampak. Berwarna kuning menjulang di hijaunya hutan. Menantang para pemanjat tebing manapun untuk mencobanya. Terletak di Pagak, sebelah Selatan kota Kepanjen Malang, Lembah Kera adalah salah satu surga bagi para pemanjat tebing. Di sini pulalah banyak atlet besar lokal maupun nasional lahir. Salah satunya adalah Ijang.
Bercengkrama di atas tebing


Memanjat tebing.....

Tidak lama kami berada di Lembah Kera. Tujuan kami hanya ingin merasakan bagaimana Lembah Kera itu. Melihat bagaimana Ijang menunjukkan kebolehannya merayap di dinding tebing sembari menikmati keeksostisan tebing-tebingnya. Sebelum siang, kami pun beranjak menuju Tulungagung. Menempuh perjalanan panjang lagi menuju rumah Elok.
Ijang alias Rangga Masdar


Perjalanan kami kali ini memang hanya untuk mengenal lebih dekat Ijang dan Elok. Namun sebelum itu, biarkan kami pacaran dulu di Ngliyep. Heheeeee. Supaya lebih intim saja gitu….&*%^$#^&.

Sawah di belakang UMM dengan latar Gunung Arjuno


Di Bendungan Senggoro, Kepanjen, Malang


Ngliyep


Hahaaaa.....


andai waktu lebih banyak.............jebur

Senin, 15 Februari 2010

Not About Destination ....

Sudah lewat pukul 10 malam. Aku belum tidur juga. Padahal sudah lebih satu jam berbaring di tempat tidur. Malam bertambah dingin. Pakaian tiga lapis ditambah satu selimut tebal masih saja membuat hidungku mampet, kedinginan. Padahal tidur di Sarangan bukan sekali dua kali. Masih saja belum terbiasa dengan udara malam pada ketinggian sekitar 1200 meter di atas permukaan laut ini. Namun, bukan kondisi ini saja yang membuatku belum juga terlelap. Seperti perjalananku yang lain, sulit sekali untuk langsung tidur di malam hari. Bahkan selelah apapun badan ini.

Alih-alih kecemasan, ada semacam harapan yang membuat jantung serasa berdetak lebih kencang setiap malamnya. Sebelum tidur aku selalu bertanya-tanya perjalanan seperti apa yang akan aku lalui keesokan hari. Pengalaman menarik apa yang akan aku dapat. Orang seperti apa yang akan aku temui. Bagaimana tempat yang akan kusinggahi. Sampai cerita-cerita apa yang akan aku alami. Semuanya menjadi ritual yang tidak pernah tertinggal pada malam-malam di setiap perjalanan yang aku lakukan.

Dua malam sebelumnya, “ritual” serupa juga terjadi dengan sendirinya. Memikirkan bagaimana mengawali sebuah perjalan esok pagi. Menempuh jalur yang tidak biasa menuju Magetan. Melewati Gresik, Lamongan, Bojonegoro, kemudian turun ke Ngawi. Dan yang diharapkan, lebih banyak mengecewakan. Setidaknya aku tahu bahwa Jalur Selatan di Jawa Timur jauh lebih baik dan lebih menantang daripada Jalur Utara. Monoton dan Bergelombang, kerusakan hampir ada di seluruh ruas jalan sepanjang Gresik-Lamongan-Bojonegoro. Kecewa tapi menikmati. Terlebih saat BM 4775 CF akhirnya bisa bermanuver dengan kecepatan tinggi di jalur pegunungan kapur sebelum Ngawi.
Jembatan kereta api menuju Cepu melintas di atas Bengawan Solo. Bojonegoro hanya sekedar dilewati. Ingin lebih lama, apa daya teman pulang ke Surabaya. Kondisi jalan yang mayoritas tidak terawat, membuat mood pun buruk untuk lebih menjelajah

Jalur Cepu-Ngawi. Seperti pegunungan kapur utara yang lain, penuh jati dan sepi. Sedikit menantang tapi menakutkan


Magetan, khususnya Sarangan bisa jadi tempat yang paling sering aku kunjungi selama kuliah di Surabaya. Simple, banyak sanak saudara di sana. Kedua, dingin, sejuk, tenang, dan menentramkan. Ketiga, aku suka gunung, aku senang ketinggian, aku tergila-gila pada jalanannya yang berkelok-kelok. Over all, aku suka pegunungan, di manapun itu.
Sarangan.......

Behind the Sarangan....ada-ada saja..

Mie rebus, mie ayam, mie pangsit, apapun yang hangat-hangat sungguh sangat nikmat di santap di dinginnya Sarangan

Jalur menuju Sarangan. Maknyus untuk menguji kehebatan anda berkendara. Aplagi di pagi hari saat kabut masih tebal. Tajamkan mata dan waspadalah

Salah satu dusun di Desa Ngancar (sebelah Sarangan). Setiap hari hidup dalam resiko

Telaga Urung (sebelum Sarangan) dengan latar pegunungan Wilis di pagi hari

Gunung Lawu dilihat dari Jalur Plaosan-Poncol


Pegunungan pula yang menjadi rekan sepanjang perjalanan menuju Malang pada hari ketiga. Lagi-lagi mengambil jalur yang tidak biasa kalau tidak boleh dibilang “kurang kerjaan”. Magetan-Ponorogo-Trenggalek-Tulungagung-Blitar-Malang. Ponorogo-Trenggalek menjadi jalur favorit. Mendaki, menurun, dan berkelok-kelok khas pegunungan Selatan.

Pegunungan Selatan pulalah yang menjadikan aku gemar mengunjungi pantai selatan. Bukan semata-mata ingin tahu pantai itu sendiri, tapi juga perjalanan gunung menuju pantai. Tidak peduli mulus atau parah kondisi jalan, ada tantangan tersendiri. Terasa puas melihat ujung di pasir pantai setelah lelah menelusuri gunung dan hutan. Terbayar jauhnya trek dengan birunya air yang menyapu karang. Aahhhh…..Pantai Selatan is the best.
Jalur seperti ini yang bisa dilihat dan juga harus dilalui pada jalur Ponorogo-Trenggalek. Keren dan menantang bukan.....

Salah satu landscape saat menuju Pantai Popoh

PLTA Popoh, Nyawa listriknya Tulungagung, tapi mengotori Popoh. Dilema.....

Pantai Popoh, Tulungagung. Penuh perahu nelayan dan tercemar oleh pasir buangan, jadinya air yang seharusnya biru menjadi putih. Ini semua karena PLTA Popoh.

Pantai Serang, Blitar. Gambar diambil dari tempat ruqyat (melihat bulan). Cukup terpencil, tapi ada telepon masuk di kartu As-ku saat di pantai ini.

Pantai Jolosutro, Blitar. Harus melewati kebun jagung superluas sebelum ke sini. Secara keseluruhan, pantai-pantai Pacitan masih nomor satu.

Di atas jembatan kereta api rangka bawah di deket Waduk Karangkates. Beberapa ratus meter ke Timur, ada terowongan panjang yang berada persis di sebelah waduk. Dasar orang Teknik Sipil, gak jauh-jauh dari bangunan unik, kuno, dan aneh

Pengennya ditemenin jalan-jalan malam di Malang, malah jenguk yang nemenin lagi opname karena DBD. Semoga sekarang Emon sudah sembuh

Mampir di Kebun Raya Purwodadi sebelum ke Nongkojajar. Gak bisa komentar banyak sebelum menyambangi Kebun Raya Bogor, Kebun Raya Cibodas, dan Kebun Raya Bedugul


Hari keempat adalah perjalanan dari kota Malang ke Nongkojajar. Sebuah kecamatan kecil di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Sekitar 20 kilometer ke Timur untuk sampai di Kaldera Bromo. Meski baru pertamakali ke Nongkojajar, membuatku langsung menetapkannya sebagai tempat singgah favorit dan berencana untuk kembali nanti-nanti. Berada di ketinggian sekitar 1700 meter dpl, kecematan yang berdekatan dengan kecamatan Tosari ini jauh lebih dingin dan sangat sejuk dibanding Sarangan. Jalur menuju ke sana tentu saja menanjak dan berkelok-kelok. Sangat menguji kemampuan berkendara kita.

Nongkojajar tidak begitu dikenal. Tapi di sinilah salah satu pusat produksi apel malang, selain Batu tentu saja. Tidak hanya itu, stowbery dan durian juga menjadi komoditas Nongkojajar. Jarak dari desa yang satu ke desa yang lain cukup berjauhan. Berada pada masing-masing punggung bukit. Dipisahkan oleh lembah-lembah yang cukup curam. Jalur jalannya pun harus dilalui dengan menyusuri hutan yang masih lebat, disamping kebun apel tentu saja. Ya, beginilah desa-desa Tengger di TNBTS. Sepertinya, aku benar-benar ingin kembali untuk lebih mengeksplornya…..
bisa langsung dimakan tanpa dipetik...heheee

Aktivitas menimbang apel sebelum dibawa ke pengepul. Di Nongkojajar, juga mungkin di tempat lain, ternyata penadah atau pengepul alias si pengendali harga jauh lebih kaya dibanding para petaninya. Jadi, rumah-rumah mewah di Nongkojajar sebenarnya bukan milik petani yang punya berhektar-hektar lahan, melainkan milik pengepul

Main badminton bareng PGRI Nongkojajar (gantinya main pekanan di Gebang) heheee. Sewaktu ke sana, bertepatan dengan jadwal mainnya guru-guru. di ajak deh sama Om. Lumayan, gantiin main pekanan yang absen di Gebang Kidul

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Akhirnya, kesampaian juga di Puncak Penanjakan....

Pegunungan Arjuna dilihat dari Penanjakan. Jika beruntung, dari puncak satu gunung, kita bisa lihat gunung-gunung yang lain.


Lima hari dalam perjalanan. Sekitar 1050 km jalur ditempuh. 11 kabupaten dilalui. Tujuh kota disinggahi. Empat pegunungan didaki. Dua sungai besar disebrangi. Tiga pantai ditelusuri. Tapi ini bukan tentang destinasi. Ini adalah perjalanan itu sendiri.
Foto terakhir sebelum pulang. Lokasinya di jalur menuju Penanjakan. Di atas kaldera Bromo tepatnya

Special thanks to..
Bang Jenewar, atas pemberian kameranya. Perjalan ini untuk menguji ketangguhan pocket itu.
Anggi, yang telah memberikan info pantai-pantai di Blitar
Yasqi dan Rafi, membuat lelahku berujung senyum selalu
Anindi dan Tita, Nongkojajar terasa hangat dengan laku kalian
Dan Mbak Isti, karenamu malam itu menjadi malam terakhir perjalanan di mana aku tidur dengan nyenyak.