Selesai juga kisah perjalanan ini, setelah sekian lama tertunda oleh satu dan lain hal. Tidaklah seberapa, hanya ingin memberi sesuatu sebagai bentuk tanggung jawab terhadap para pembaca bizesha serta semua orang yang turut berperan dalam perjalanan tersebut.
teks : Emal
foto : Ali, Anya, Emal
Selamat menikmati!
Jumat, 23 Januari 2009
Ooohhhhhh.......Aspal! (Hari ke-1)
Bubur Jakarta yang merupakan satu-satunya bubur yang dijajakan di Keputih telah mengawali perjalanan kami pagi (25/12) itu. Nikmatnya bubur yang kami santap diharapkan menular pada nikmatnya perjalanan menuju Magetan. Untuk kesekian kalinya, Emal dan Ali melakukan perjalanan. Perjalanan dengan satu motor. Berdua saja…..
Tujuan = Gunung Lawu
Lokasi = Kabupaten Magetan
Rute = Surabaya-Mojokerto-Jombang-Kertosono-Nganjuk-Caruban-Madiun-
Maospati-Magetan.
Kami sudah bosan dengan jalur yang satu ini. Rute itu-itu saja setiap akan menuju daerah barat Jawa Timur. Jalur konvesional memang mudah, cepat, dan hemat. Sungguh sangat efisien memang. Tapi MEMBOSANKAN. Kami bosan menelusuri jalanan arteri lebar tanpa sesuatu yang sedap untuk dipandang. Kami jengah harus berjibaku dengan besarnya truk-truk besar dan ugal-ugalannya bis antar kota. Kami muak harus bertarung dengan cepatnya Panther, Jazz, Yarist, atau LSX sekalipun. Pun kami sudah tidak tertarik lagi menelusuri lorong-lorong Jombang, Nganjuk, Caruban ataupun Madiun. Berjibaku dengan padatnya kota yang harus pula disela banyaknya traffic light.
Sungguh, kami bosan kawan! BM 4775 CF butuh lebih dari sekedar kenyamanan, butuh sebuah kebebasan, dan butuh……..tantangan. kami putuskan memakai rute baru. sebuah rute yang tidak akan pernah dibayangkan orang jika hendak bepergian dari Surabaya ke Magetan.
Surabaya-Menganti-Benjang-Balongpanggang-Mantup-Ngimbang-
Sukorame-Kedungadem-Temayang-Bubulan-Sekar-Kaliklampok-
Karangjati-Ngawi-Maospati-magetan. Keluar melalui Jalan Menganti Raya di Surabaya Barat dan akan keluar di ruas Caruban-Ngawi, tepatnya daerah Karangjati. Sebuah rute yang tidak akan pernah kami lewati lagi jika akan ke Magetan. Kami bersumpah.
Awalnya kami mendapatkan apa yang kami inginkan. Jalanan lengang meski dengan lebar seadanya. Kondisi jalan dengan aspal yang cukup baik. Sepanjang jalan kami melewati sesuatu yang berbeda-beda. Terkadang kita akan dimanjakan oleh hamparan sawah hijau. Lain waktu melewati padang palawija. Hutan jati pun tidak sedikit untuk ditemui. Bahkan suatu saat kami pernah menemukan hutan jati yang tumbuh di sawah. Satu hal yang cukup menyenangkan adalah bertegursapa dengan setiap orang di setiap kota yang kami lalui. Sekedar untuk menanyakan arah, sebab peta yang kami bawa agak sedikit membingungkan. Maklum saja, rute yang kami lalui bukan jalan arteri atau jalan nasional, bukan pula jalan propinsi.
Setelah melewati banyak bukit dan lembah tanpa harus mengantri di traffic light, kami pun sampai di Temayang. Sebuah kota kecil di Kabupaten Bojonegoro. Jalan pun bercabang, kami pun memilih arah kanan. Inilah awal malapetaka kami. Dari Temayang, selanjutnya kami akan melalui daerah Pegunungan Kendeng. Salah satu pegunungan di Jawa Timur yang memangjang di bawah Pegunungan kapur Utara.
Sampai di Bubulan kami kembali bertanya, “Oh…Sekar. Banyak perempuan cantiknya tapi kasar.” Begitu kata bapak tua yang kami temui di pasar. “Trus aja …..lewat hutan itu! Nanti ada penjaga hutan di pertigaan tanya saja lagi!” terang bapak tua. “ati-ati harimau!” peringatnya lagi dengan bercanda. Dan kami benar-benar melewati hutan. Setelah bertanya di pos kehutanan pada jagawana kami pun masih melewati hutan. Peringatan bapak tua tadi teringang kembali. “ati-ati harimau!”
Kami masih berada di hutan. Jalan mulai menanjak pertanda telah memasuki daerah pegunungan. Hutan belantara yang rimbun pohonnya memang telah kami lalui. Tapi kami masih berada di hutan, karena memang tidak ada rumah di sekitar kami. Hanya ada hehijauan dan kayu-kayu kering di sana sini. Parahnya jalanan tidak lagi aspal, tapi tanah. Bayangkan, saat Surabaya-Solo akan menjadi tol, kami melaluinya di tanah-tanah berkerikil yang tak jelas rimbanya. Di hutan ini, kami hanya menemui para pencari kayu bakar. Sepanjang jalan ada saja yang mencari kayu bakar. Entah akan digunakan untuk apa atau akan dibawa kemana. Kami terlalu lelah dan matahari pun telah tinggi untuk sekedar berhenti bertanya.
Kebosanan mulai merasuki kami. Ketakutan pun menunjukkan tajinya. Takut harus mendorong motor karena ban bocor mengingat kondisi jalan yang riskan. Tak jelas kami akan mendorong ke mana dan berapa lama. Belum lagi harimau. “Tenang aja, kalo ada harimau menghadang segera ambil kamera. Ambil gambar harimaunya setelah itu pikirkan nanti!” guyonan yang sedikit menghibur. Dan kami masih melewati hutan. Melewati jalanan tanah sampai akhirnya menemukan sebuah desa. Dan ternyata Sekar yang ada di peta hanyalah sebuah desa.
Secara administrasi, jalur yang kami lalui masuk dalam kabupaten Gresik, Lamongan, dan Bojonegoro. Sepanjang daerah Gresik dan Lamongan jalan masih mulus. Sampai di Bojonegoro, jalan merusak dan banyak desa terpencil seperti Sekar ini. Dari sini saja kami dapat menyimpulkan kesejahteraan sebuah kabupaten dibanding kabupaten lainnya. atau kepedulian daerah pada desa-desa terpencilnya. Tidak kami sangka, sebuah desa kecil yang berada di negeri entah berantah yang hanya bisa dilalui dengan jalan tanah dan beberapa aspal yang telah rusak, bisa muncul namanya di peta.
Kami teruskan perjalanan, masih dengan jalanan yang rusak parah dan masih dalam daerah teritorial Sekar. Kami sudah benar-benar bosan sehingga tanpa sadar kami baru sampai di Kaliklompok, yang tak jauh beda dengan Sekar. “Jalan rusaknya masih jauh pak?” tanya kami pada seorang bapak. “Wah…yang rusaknya parah 5 km lagi mas.” Lah terus yang gak parah berapa kilo…tanya kami dalam hati. Semangat kami tidak lagi untuk menikmati kanan kiri kami. Yang penting keluar dari penderitaan ini. 5 km benar-benar neraka. Jalan yang kami lalui bukan tanah, tapi bebatuan runcing. 10 km/jam kecepatan kami. Merayap di hutan dengan badan yang mengangguk-angguk karena kasarnya jalan. Dan kami sadar, akan kami pertaruhkan apa saja untuk lebih memilih rute 50 km dengan jalan yang mulus. Sampai akhirnya…………………oohhhhh aspaaaaaaaal.
Kami benar-benar mendapat suasana baru. Namun itu semua lebih dari yang kami inginkan. Yang kami dapat tidak sebanding dengan yang kami alami. “Gimana Li, kita pulang lewat sini lagi?” tanyaku. “Mending mati aja deh!!”
Tujuan = Gunung Lawu
Lokasi = Kabupaten Magetan
Rute = Surabaya-Mojokerto-Jombang-Kertosono-Nganjuk-Caruban-Madiun-
Maospati-Magetan.
Kami sudah bosan dengan jalur yang satu ini. Rute itu-itu saja setiap akan menuju daerah barat Jawa Timur. Jalur konvesional memang mudah, cepat, dan hemat. Sungguh sangat efisien memang. Tapi MEMBOSANKAN. Kami bosan menelusuri jalanan arteri lebar tanpa sesuatu yang sedap untuk dipandang. Kami jengah harus berjibaku dengan besarnya truk-truk besar dan ugal-ugalannya bis antar kota. Kami muak harus bertarung dengan cepatnya Panther, Jazz, Yarist, atau LSX sekalipun. Pun kami sudah tidak tertarik lagi menelusuri lorong-lorong Jombang, Nganjuk, Caruban ataupun Madiun. Berjibaku dengan padatnya kota yang harus pula disela banyaknya traffic light.
Sungguh, kami bosan kawan! BM 4775 CF butuh lebih dari sekedar kenyamanan, butuh sebuah kebebasan, dan butuh……..tantangan. kami putuskan memakai rute baru. sebuah rute yang tidak akan pernah dibayangkan orang jika hendak bepergian dari Surabaya ke Magetan.
Surabaya-Menganti-Benjang-Balongpanggang-Mantup-Ngimbang-
Sukorame-Kedungadem-Temayang-Bubulan-Sekar-Kaliklampok-
Karangjati-Ngawi-Maospati-magetan. Keluar melalui Jalan Menganti Raya di Surabaya Barat dan akan keluar di ruas Caruban-Ngawi, tepatnya daerah Karangjati. Sebuah rute yang tidak akan pernah kami lewati lagi jika akan ke Magetan. Kami bersumpah.
Awalnya kami mendapatkan apa yang kami inginkan. Jalanan lengang meski dengan lebar seadanya. Kondisi jalan dengan aspal yang cukup baik. Sepanjang jalan kami melewati sesuatu yang berbeda-beda. Terkadang kita akan dimanjakan oleh hamparan sawah hijau. Lain waktu melewati padang palawija. Hutan jati pun tidak sedikit untuk ditemui. Bahkan suatu saat kami pernah menemukan hutan jati yang tumbuh di sawah. Satu hal yang cukup menyenangkan adalah bertegursapa dengan setiap orang di setiap kota yang kami lalui. Sekedar untuk menanyakan arah, sebab peta yang kami bawa agak sedikit membingungkan. Maklum saja, rute yang kami lalui bukan jalan arteri atau jalan nasional, bukan pula jalan propinsi.
Setelah melewati banyak bukit dan lembah tanpa harus mengantri di traffic light, kami pun sampai di Temayang. Sebuah kota kecil di Kabupaten Bojonegoro. Jalan pun bercabang, kami pun memilih arah kanan. Inilah awal malapetaka kami. Dari Temayang, selanjutnya kami akan melalui daerah Pegunungan Kendeng. Salah satu pegunungan di Jawa Timur yang memangjang di bawah Pegunungan kapur Utara.
“Kebosanan mulai merasuki kami. Ketakutan pun mulai menunjukkan tajinya.”
Sampai di Bubulan kami kembali bertanya, “Oh…Sekar. Banyak perempuan cantiknya tapi kasar.” Begitu kata bapak tua yang kami temui di pasar. “Trus aja …..lewat hutan itu! Nanti ada penjaga hutan di pertigaan tanya saja lagi!” terang bapak tua. “ati-ati harimau!” peringatnya lagi dengan bercanda. Dan kami benar-benar melewati hutan. Setelah bertanya di pos kehutanan pada jagawana kami pun masih melewati hutan. Peringatan bapak tua tadi teringang kembali. “ati-ati harimau!”
Kami masih berada di hutan. Jalan mulai menanjak pertanda telah memasuki daerah pegunungan. Hutan belantara yang rimbun pohonnya memang telah kami lalui. Tapi kami masih berada di hutan, karena memang tidak ada rumah di sekitar kami. Hanya ada hehijauan dan kayu-kayu kering di sana sini. Parahnya jalanan tidak lagi aspal, tapi tanah. Bayangkan, saat Surabaya-Solo akan menjadi tol, kami melaluinya di tanah-tanah berkerikil yang tak jelas rimbanya. Di hutan ini, kami hanya menemui para pencari kayu bakar. Sepanjang jalan ada saja yang mencari kayu bakar. Entah akan digunakan untuk apa atau akan dibawa kemana. Kami terlalu lelah dan matahari pun telah tinggi untuk sekedar berhenti bertanya.
Kebosanan mulai merasuki kami. Ketakutan pun menunjukkan tajinya. Takut harus mendorong motor karena ban bocor mengingat kondisi jalan yang riskan. Tak jelas kami akan mendorong ke mana dan berapa lama. Belum lagi harimau. “Tenang aja, kalo ada harimau menghadang segera ambil kamera. Ambil gambar harimaunya setelah itu pikirkan nanti!” guyonan yang sedikit menghibur. Dan kami masih melewati hutan. Melewati jalanan tanah sampai akhirnya menemukan sebuah desa. Dan ternyata Sekar yang ada di peta hanyalah sebuah desa.
Secara administrasi, jalur yang kami lalui masuk dalam kabupaten Gresik, Lamongan, dan Bojonegoro. Sepanjang daerah Gresik dan Lamongan jalan masih mulus. Sampai di Bojonegoro, jalan merusak dan banyak desa terpencil seperti Sekar ini. Dari sini saja kami dapat menyimpulkan kesejahteraan sebuah kabupaten dibanding kabupaten lainnya. atau kepedulian daerah pada desa-desa terpencilnya. Tidak kami sangka, sebuah desa kecil yang berada di negeri entah berantah yang hanya bisa dilalui dengan jalan tanah dan beberapa aspal yang telah rusak, bisa muncul namanya di peta.
Kami teruskan perjalanan, masih dengan jalanan yang rusak parah dan masih dalam daerah teritorial Sekar. Kami sudah benar-benar bosan sehingga tanpa sadar kami baru sampai di Kaliklompok, yang tak jauh beda dengan Sekar. “Jalan rusaknya masih jauh pak?” tanya kami pada seorang bapak. “Wah…yang rusaknya parah 5 km lagi mas.” Lah terus yang gak parah berapa kilo…tanya kami dalam hati. Semangat kami tidak lagi untuk menikmati kanan kiri kami. Yang penting keluar dari penderitaan ini. 5 km benar-benar neraka. Jalan yang kami lalui bukan tanah, tapi bebatuan runcing. 10 km/jam kecepatan kami. Merayap di hutan dengan badan yang mengangguk-angguk karena kasarnya jalan. Dan kami sadar, akan kami pertaruhkan apa saja untuk lebih memilih rute 50 km dengan jalan yang mulus. Sampai akhirnya…………………oohhhhh aspaaaaaaaal.
Kami benar-benar mendapat suasana baru. Namun itu semua lebih dari yang kami inginkan. Yang kami dapat tidak sebanding dengan yang kami alami. “Gimana Li, kita pulang lewat sini lagi?” tanyaku. “Mending mati aja deh!!”
Sarangan, Saatnya Berburu....! (Hari ke-2)
Hari ini hari kedua di Sarangan. Masih ada dua hari lagi sebelum naik ke puncak Lawu. Kami putuskan dua hari ini untuk melakukan pemanasan. Hari ini pemanasannya adalah menuju Air Terjun Ngadiloyo. Salah satu objek wisata di sekitar Sarangan yang juga banyak dikunjungi. Kami berangkat pagi sekali. Berniat mandi agar tidak dilihat orang. Berrrrrrrrr……dingin.
Perjalanan menuju Ngadiloyo tidaklah terlalu lama. Namun cukup untuk pemanasan hari pertama. View-nya juga bagus. Kiri kanan hanya ada bukit tinggi nan terjal. Kami serasa kecil dibuatnya. Belum lagi angin lembah yang bertiup diantara dua bukit itu. Sejuuuk rasanya……
Ngadiloyo sudah berubah sejak longsor dua tahun lalu. Kini mereka berbenah. Didesain sedemikian rupa. Waktu kami ke sana sedang dalam perbaikan. Tapi sudah dapat meramalkan hasil akhirnya. Sebuah air terjun dengan banyak kolam yang dibuat berundak-undak. Akan banyak pula air yang terjun. Aku makin bangga akan Teknik Sipil. Di tempat sempit dan penuh batu seperti ini, masih saja bisa dibangun bangunan yang indah. “Tidak ada yang tidak bisa dikerjakan oleh Teknik Sipil,” begitu kata Prof Noor Endah. Kalau boleh menambahkan Bu, “tinggal benar atau salah dan boleh atau tidak saja membangunnya.” Pasti Bu Profsetuju.
Hari ini kami lebih banyak menikmati indahnya Sarangan. Beruntung sekali kami datang saat air telaga berada pada debit puncaknya. Tak berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya. Tak ada yang berbeda dengan Sarangan. Masih dengan speedboat-nya. Kuda-kuda yang disewakan. Penajaja sate dan bakso. Pengunjung yang datang dengan keluarga, teman, atau pasangan. Monyet-monyet yang turun gunung. Dan sebagainya.
Inilah saat berburu foto.
Siang hari ini, kami bertemu dengan teman lama semasa SMA. Sudah janjian sehari sebelumnya. Mereka kulaih di salah satu Sekolah Keperawatan di Maospati. Lima tahun sudah tidak bertemu, semenjak dirinya pindah ke Caruban sejak pertengahan kelas 2. Namanya Surti Ratna Ningsih. Di sekolah biasa kupanggil Mbak Surti. Dia datang bersama kakak sepupunya yang juga satu sekolah dengan kami dulu. Risa namanya, adik kelasku dulu, juga adik kelas Mbak Surti.
“Suaminya gak dibawa, mbak?” tanyaku. “Halah koen iki Mal, bukannya sampean yang katanya dah nikah?” balasnya. Huahahaaaaaa. Kata-kata itulah yang mengawali pertemuan kami. Topik yang selalu enak untuk diperbincangkan untuk anak muda seumuran kami. Munafik sekali bagi yang menyangkalnya. Kami habiskan sisa hari itu untuk bercengkrama melepas dahaga rindu karena lama tak bertemu. Bercerita tentang teman-teman masa lalu, kenangan-kenangan tak terlupakan, aktivitas saat ini, sampai rencana-rencana ke depan.
Sarangan serasa begitu bersahabat dengan kami. Selain bertemu dengan teman lama semasa SMA. Dunia ini terasa kecil rasanya setelah ketemu Arul. Pria bernama lengkap Azruldin Azis ini berkesempatan ke Sarangan setelah mengahadiri undangan pernikahan temannya di Magetan. Yah….siapa yang menyangka mas………? Sayangnya, Ali yang sedaerah dengan mas Arul tidak sempat bertemu. Kecewanya dia. Duh Ali….maafkan daku.
Perjalanan menuju Ngadiloyo tidaklah terlalu lama. Namun cukup untuk pemanasan hari pertama. View-nya juga bagus. Kiri kanan hanya ada bukit tinggi nan terjal. Kami serasa kecil dibuatnya. Belum lagi angin lembah yang bertiup diantara dua bukit itu. Sejuuuk rasanya……
Ngadiloyo sudah berubah sejak longsor dua tahun lalu. Kini mereka berbenah. Didesain sedemikian rupa. Waktu kami ke sana sedang dalam perbaikan. Tapi sudah dapat meramalkan hasil akhirnya. Sebuah air terjun dengan banyak kolam yang dibuat berundak-undak. Akan banyak pula air yang terjun. Aku makin bangga akan Teknik Sipil. Di tempat sempit dan penuh batu seperti ini, masih saja bisa dibangun bangunan yang indah. “Tidak ada yang tidak bisa dikerjakan oleh Teknik Sipil,” begitu kata Prof Noor Endah. Kalau boleh menambahkan Bu, “tinggal benar atau salah dan boleh atau tidak saja membangunnya.” Pasti Bu Profsetuju.
“Kiri kanan hanya ada bukit tinggi nan terjal. Kami serasa kecil dibuatnya. Belum lagi angin lembah yang bertiup diantara dua bukit itu. Sejuuuk rasanya……”
Hari ini kami lebih banyak menikmati indahnya Sarangan. Beruntung sekali kami datang saat air telaga berada pada debit puncaknya. Tak berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya. Tak ada yang berbeda dengan Sarangan. Masih dengan speedboat-nya. Kuda-kuda yang disewakan. Penajaja sate dan bakso. Pengunjung yang datang dengan keluarga, teman, atau pasangan. Monyet-monyet yang turun gunung. Dan sebagainya.
Inilah saat berburu foto.
Siang hari ini, kami bertemu dengan teman lama semasa SMA. Sudah janjian sehari sebelumnya. Mereka kulaih di salah satu Sekolah Keperawatan di Maospati. Lima tahun sudah tidak bertemu, semenjak dirinya pindah ke Caruban sejak pertengahan kelas 2. Namanya Surti Ratna Ningsih. Di sekolah biasa kupanggil Mbak Surti. Dia datang bersama kakak sepupunya yang juga satu sekolah dengan kami dulu. Risa namanya, adik kelasku dulu, juga adik kelas Mbak Surti.
“Suaminya gak dibawa, mbak?” tanyaku. “Halah koen iki Mal, bukannya sampean yang katanya dah nikah?” balasnya. Huahahaaaaaa. Kata-kata itulah yang mengawali pertemuan kami. Topik yang selalu enak untuk diperbincangkan untuk anak muda seumuran kami. Munafik sekali bagi yang menyangkalnya. Kami habiskan sisa hari itu untuk bercengkrama melepas dahaga rindu karena lama tak bertemu. Bercerita tentang teman-teman masa lalu, kenangan-kenangan tak terlupakan, aktivitas saat ini, sampai rencana-rencana ke depan.
Sarangan serasa begitu bersahabat dengan kami. Selain bertemu dengan teman lama semasa SMA. Dunia ini terasa kecil rasanya setelah ketemu Arul. Pria bernama lengkap Azruldin Azis ini berkesempatan ke Sarangan setelah mengahadiri undangan pernikahan temannya di Magetan. Yah….siapa yang menyangka mas………? Sayangnya, Ali yang sedaerah dengan mas Arul tidak sempat bertemu. Kecewanya dia. Duh Ali….maafkan daku.
Kehidupan Manusia Gunung (Hari ke-3)
Pemanasan kedua kami jalani dengan berjalan menuju salah satu rentetan air terjun di daerah sekitar Sarangan. Tepatnya di Desa Ngancar, yang tak lain adalag kampung kelahiran semua saudara dari Ibu. Air terjun Pundak Kiwo tidaklah sepopuler Ngadiloyo. namun keindahannya tak kalah begitu saja. Dalam satu aliran, terdapat 3 air terjun sekaligus yang dipisahkan dengan jarak tertentu. Kami beruntung kali ini karena dapat melihat air yang terjun. Sebab dua tahun sebelumnya, kami hanya dapat gigit jari melihat kali yang mengering tanpa setetes air pun.
Berbeda ketika menuju air terjun Ngadiloyo, kami tidak melalui jalan yang biasa dilalui pengujung di Pundak Kiwo ini. Menembus rumpunan bambu, menerobos semak belukar, menapaki petak-petak ladang para penduduk, sampai berjalan hikmat di bawah pepohonan cemara yang menjulang tegak. Sebuah jalan pintas yang membuat kami bisa melihat Ngancar dari atas perbukitan. Ngancar dengan segala aktivitasnya.
Ngancar merupakan satu dari sekian banyak desa yang terdapat di kaki gunung Lawu. Satu diantara ribuan desa di gunung-gunung lainnya. Boleh rasanya menyimpulkan bahwa desa-desa lain yang berada di gunung tak jauh beda dengan Ngancar. Terlebih aktivitas kesehariannya.
nyaris 900 membuat konstruksi bangunannya benar-benar mempesona (sipil banget…). Entah seperti apa pondasi yang mereka buat. Padahal rumah mereka mayoritas berbahan baku batu kali dan pasir campur kapur. Konstruksi atap lebih banyak di dominasi oleh bambu.
GentengNgancar adalah desa yang terletak diantara pungung-punggung bukit. Kemiringan bukit yang tetap menjadi pilihan. Bahkan ada sebuah rumah yang semuanya berasal dari bambu. Pondasi, tiang, dinding, kuda-kuda atap, kecuali atap semua dari bambu. Dan rumah ini sudah dapat menahan angin lembah yang begitu kencang. Namun belakangan, sudah banyak terdapat rumah-rumah modern di Ngancar.
Air bersih bukan menjadi masalah di Ngancar. Gratis dan benar-benar bersih. Diambil langsung dari sumbernya, namun tetap dengan pengelolaan layaknya PDAM. Semua orang bebas menggunakan untuk apa saja, baik itu MCK ataupun menyirami ladang-ladang mereka. Semua gratis dan tidak perlu takut habis. Benar-benar anugrah alam untuk warga ngancar.
Seperti desa-desa di Jawa. Rumah-rumah berkumpul dalam satu tempat. Sedangkan kebun mereka di tempat yang lain. Rumah yang satu dan dan yang lainnya saling berhimpitan. Hanya dipisahkan oleh gang kecil. Kondisi ini membuat setiap orang pastinya akan saling mengenal orang lainnya. Pernah ada cerita, dulu sekali tidak perlu undangan untuk mengundang seseorang dalam suatu acara. Cukup dari mulut ke mulut saja. Cukup dari jendela ke jendela.
Mayoritas penduduknya bertani di ladang-ladang. Mulai dari lembah sungai sampai atas serta sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Tapi tetap saja namanya bukan kota.Ngancar tidak bisa dikatakan masih terbelakang. Sudah ada listrik negara, jaringan telepon, punggung bukit habis dibabat untuk dijadikan ladang. Tidak pernah terjadi longsor yang berarti, sebab mereka lebih mengerti batas-batasnya. Kubis, wortel, bawang daun, bawang merah, kentang, seledri, kapri yang biasanya menjadi komoditas petani Ngancar. Kubis dan wortel menjadi primadona. Dari sayuran itu semua mereka dapat hidup dan menghidupi.
Seiring terbitnya matahari, para petani ini sudah mulai beranjak ke ladang masing-masing. Jika bukan masa panen, mereka hanya menyiangi rumput pengganggu, menggemburkan tanah sekitar tanaman, atau hanya sekedar memperbaiki saluran penyiraman. Satu hal yang menjadi kebiasan mereka saat pulang dari ladang adalah membawa rumput untuk ternak. Jangan heran jika di setiap rumah, di samping dapur, terdapat setidaknya seekor sapi. Tak pernah digembalakan. Hanya diberi rumput setiap hari. Tunggulah besar, maka mereka akan mengahasilkan uang.
Ngancar bersebelahan langsung dengan Sarangan. Selain bertani, Sarangan adalah lahan mencari nafkah terbesar kedua di Ngancar. Membuka warung makan dan jajanan, menawarkan jasa foto, penyewaan kuda dan speedboat, menawarkan jasa memandu ke Ngadiloyo, dan lain sebagainya. Sarangan sudah menjadi penggerak ekonomi setelah bertani di Ngancar.
Lain daripada itu, para pemuda akhir-akhir ini lebih tertantang untuk mencari nafkah di luar Ngancar. Merantau, keluar dari desa. Bagi mereka yang beruntung dan mau bekerja keras, hasilnya akan lebih besar dari sekedar bertani atau bergantung pada Sarangan.
Masyarakat Ngancar dikenal ramah kepada siapa saja. Begitu pula dengan warga di sekitar Sarangan lainnya. Bukan hanya karena Sarangan selalu didatangi oleh orang asing, tapi juga karena dan memang lebih karena kultur budaya setempat yang demikian. Saat berpapasan dengan warga, setidaknya sapalah seadanya. Jika kita seorang tamu, cobalah untuk tidak menerima pemberian. Mereka benar-benar ramah. Bagi mereka, ada semacam tabu jika tidak dapat memuaskan atau membuat betah seorang tamu.
Berbeda ketika menuju air terjun Ngadiloyo, kami tidak melalui jalan yang biasa dilalui pengujung di Pundak Kiwo ini. Menembus rumpunan bambu, menerobos semak belukar, menapaki petak-petak ladang para penduduk, sampai berjalan hikmat di bawah pepohonan cemara yang menjulang tegak. Sebuah jalan pintas yang membuat kami bisa melihat Ngancar dari atas perbukitan. Ngancar dengan segala aktivitasnya.
Ngancar merupakan satu dari sekian banyak desa yang terdapat di kaki gunung Lawu. Satu diantara ribuan desa di gunung-gunung lainnya. Boleh rasanya menyimpulkan bahwa desa-desa lain yang berada di gunung tak jauh beda dengan Ngancar. Terlebih aktivitas kesehariannya.
nyaris 900 membuat konstruksi bangunannya benar-benar mempesona (sipil banget…). Entah seperti apa pondasi yang mereka buat. Padahal rumah mereka mayoritas berbahan baku batu kali dan pasir campur kapur. Konstruksi atap lebih banyak di dominasi oleh bambu.
GentengNgancar adalah desa yang terletak diantara pungung-punggung bukit. Kemiringan bukit yang tetap menjadi pilihan. Bahkan ada sebuah rumah yang semuanya berasal dari bambu. Pondasi, tiang, dinding, kuda-kuda atap, kecuali atap semua dari bambu. Dan rumah ini sudah dapat menahan angin lembah yang begitu kencang. Namun belakangan, sudah banyak terdapat rumah-rumah modern di Ngancar.
Air bersih bukan menjadi masalah di Ngancar. Gratis dan benar-benar bersih. Diambil langsung dari sumbernya, namun tetap dengan pengelolaan layaknya PDAM. Semua orang bebas menggunakan untuk apa saja, baik itu MCK ataupun menyirami ladang-ladang mereka. Semua gratis dan tidak perlu takut habis. Benar-benar anugrah alam untuk warga ngancar.
Seperti desa-desa di Jawa. Rumah-rumah berkumpul dalam satu tempat. Sedangkan kebun mereka di tempat yang lain. Rumah yang satu dan dan yang lainnya saling berhimpitan. Hanya dipisahkan oleh gang kecil. Kondisi ini membuat setiap orang pastinya akan saling mengenal orang lainnya. Pernah ada cerita, dulu sekali tidak perlu undangan untuk mengundang seseorang dalam suatu acara. Cukup dari mulut ke mulut saja. Cukup dari jendela ke jendela.
“Bagi mereka, ada semacam tabu jika tidak dapat memuaskan atau membuat betah seorang tamu.”
Mayoritas penduduknya bertani di ladang-ladang. Mulai dari lembah sungai sampai atas serta sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Tapi tetap saja namanya bukan kota.Ngancar tidak bisa dikatakan masih terbelakang. Sudah ada listrik negara, jaringan telepon, punggung bukit habis dibabat untuk dijadikan ladang. Tidak pernah terjadi longsor yang berarti, sebab mereka lebih mengerti batas-batasnya. Kubis, wortel, bawang daun, bawang merah, kentang, seledri, kapri yang biasanya menjadi komoditas petani Ngancar. Kubis dan wortel menjadi primadona. Dari sayuran itu semua mereka dapat hidup dan menghidupi.
Seiring terbitnya matahari, para petani ini sudah mulai beranjak ke ladang masing-masing. Jika bukan masa panen, mereka hanya menyiangi rumput pengganggu, menggemburkan tanah sekitar tanaman, atau hanya sekedar memperbaiki saluran penyiraman. Satu hal yang menjadi kebiasan mereka saat pulang dari ladang adalah membawa rumput untuk ternak. Jangan heran jika di setiap rumah, di samping dapur, terdapat setidaknya seekor sapi. Tak pernah digembalakan. Hanya diberi rumput setiap hari. Tunggulah besar, maka mereka akan mengahasilkan uang.
Ngancar bersebelahan langsung dengan Sarangan. Selain bertani, Sarangan adalah lahan mencari nafkah terbesar kedua di Ngancar. Membuka warung makan dan jajanan, menawarkan jasa foto, penyewaan kuda dan speedboat, menawarkan jasa memandu ke Ngadiloyo, dan lain sebagainya. Sarangan sudah menjadi penggerak ekonomi setelah bertani di Ngancar.
Lain daripada itu, para pemuda akhir-akhir ini lebih tertantang untuk mencari nafkah di luar Ngancar. Merantau, keluar dari desa. Bagi mereka yang beruntung dan mau bekerja keras, hasilnya akan lebih besar dari sekedar bertani atau bergantung pada Sarangan.
Masyarakat Ngancar dikenal ramah kepada siapa saja. Begitu pula dengan warga di sekitar Sarangan lainnya. Bukan hanya karena Sarangan selalu didatangi oleh orang asing, tapi juga karena dan memang lebih karena kultur budaya setempat yang demikian. Saat berpapasan dengan warga, setidaknya sapalah seadanya. Jika kita seorang tamu, cobalah untuk tidak menerima pemberian. Mereka benar-benar ramah. Bagi mereka, ada semacam tabu jika tidak dapat memuaskan atau membuat betah seorang tamu.
Minim Persiapan, Tanpa Pengalaman (Hari ke-4)
Malam nanti kami akan memulia petualangan baru. Mendaki gunung! Benar-benar gunung di mana tidak ada kendaraan yang bisa menjangkaunya, seperti Bromo atau Kelud. Hari ini, menjelang malam kami habiskan sisa waktu untuk melengkapi perlengkapan dan segala macam kebutuhan yang diprediksi akan digunakan. Dan siang ini juga kami kedatangan dua teman lagi. Dua orang yang akan menambah jumlah kami menjadi empat dan akan menambah jumlah pendaki baru gunung Lawu.
kami yang berangkat
Siang itu Mbak Lutfi dan Anya tiba di Sarangan. Mereka anak ITS juga. Kami mengenal karena media. Mereka anak-anak Infokom BEM ITS. Maaf banget An (Aan, kadiv infokom)….anak buahmu tak culik dulu. Ehmmm…..mereka sih yang pengen ikut. Heheeee. Yah…..begitulah. Kami berempat yang akan menaklukkan Lawu………….malam ini.
Sebelum malam, kami sempatkan jalan ke Ngadiloyo. Pemanasan terakhir. Terutama bagi dua srikandi yang baru tiba di Sarangan. Supaya lebih menyesuaikan saja. Dan tentu saja sambil foto-foto di tengah keindahan Ngancar.
“Modal kami semangat. Yah….. hanya semangat dan mimpi untuk meraih puncak Lawu.”
Pukul 22.00 kami berangkat dari bawah. Sampai Cemoro Sewu sekitar pukul 11.00. Sedikit terlambat karena insiden kecil yang terjadi di jalan. Insiden itu kami anggap sebagai cobaan pertama. Insiden yang melelahkan, membuat berkeringat, sehingga dinginnya Cemoro Sewu tak lagi begitu terasa.
Cemoro Sewu adalah desa tertinggi di Magetan. Gerbang menuju lawu untuk wilayah Jawa Timur. Beberapa ratus meter ke Barat, terdapat Cemoro Kandang, gerbang untuk wilayah Jawa Selatan. Pendaki bebas memilih dari mana akan memulai perjalanan. Tepat pukul 23.30 kami berangkat dari Cemoro Sewu.
Perbekalan kami seadanya. Lebih diutamakan untuk mengantisipasi hawa dingin. 2 sampai 3 jaket kami bawa. Senter itu pasti. makanan hanya Pop Mie dan beberapa roti untuk sarapan, serta beberapa botol air mineral. Dan yang tidak boleh ketinggalan, kami membawa tiga kamera. Lebih baik kami tidak makan daripada tidak mendapat gambar di atas nanti. Mungkin kami semua akan berpikir seperti itu. Kami memang tidak membawa tenda, karena tidak berniat untuk menginap. Direncanakan sampai puncak pagi hari, sehingga siang hari kami sudah akan turun lagi. kesalahan terbesar adalah lupa membawa jas hujan. Nekat sekali di musim penghujan, naik gunung tanpa jas hujan. Kami hanya bisa berdoa.
Diantara kami berempat tidak ada yang pernah naik gunung. Kami nol pengalaman dalam hal ini. Persiapan pun hanya seadanya. Tapi kami tidak seperti Bonek yang bermodalkan nekat. Modal kami semangat. Yah….. hanya semangat dan mimpi untuk meraih puncak Lawu. Argo Dumilah.
Perjuangan Menuju Puncak (Hari ke-5)
Kami baru menyadari beberapa menit kemudian bahwa sekarang hari sudah berubah, tanggal sudah berganti. Ya, 1 Muharram 1430. Kami lewatkan pergantian tahun baru Hijriyah dalam perjalanan. Pos 1 telah kami lewati. Pos dua entah berapa lama lagi. Kami masih tetap semangat, meski fisik sudah mulai meronta menggeliat. Pun demikian, melihat sun rise di puncak lebih menggiurkan bagi kami untuk terus berjalan. Entah berapa lama lagi.
alon-alon......banget
Semakin lama kami berjalan semakin kami kurang percaya kepada semua orang yang turun dari puncak. Jawaban mereka selalu berbeda-beda saat ditanya berapa lama lagi kira-kira sampai puncak. Bodohnya, kami tetap saja bertanya kepada setiap orang yang berpapasan. Setidaknya, semangat kami kembali terlecut saat masih ada yang mengatakan “Sebentar lagi sampai.”
Sekitar pukul 02.30 pagi kami sampai di Pos 2. Cukup ramai dan ada warungnya. Banyaknya pendaki yang tidur menggoda kami untuk tidur sejenak. Tiga jam berjalan membuat kami cukup lelah. Tidurlah kami barang sejenak. Dari kami bertiga, hanya Anya yang tidak tidur. Mau tau apa yang dikerjakannya? Main game di Hpnya.
Satu jam kami gunakan untuk tidur……dan perjalanan pun dilanjutkan. Polanya masih sama, jalan dan istirahat, jalan dan istirahat. Shubuh menjelang, matahari pun mulai menjulang, dan perjalanan kami (katanya) belum sampai setengahnya. Entah yang lain, bagi Emal dari sinilah dimulainya cobaan, bujukan, dan hasutan untuk berhenti dan turun kembali.
Setelah Shalat, tubuh ini mulai melawan. Berada di ketinggian yang tidak biasa membuat badan ini terus memberontak. Perut mulai mual, kepala terasa berat, dan dada sudah mulai sesak. Mungkin perbedaan tekanan dan udara yang mulai menipis yang menyebabkan ini semua. Aku ingin menyerah….ingin sekali. Tapi kutahan karena melihat semangat teman-teman yang lain. Entah mereka merasakan hal yang sama atau tidak. Tapi semangat mereka membuatku menahan segalanya. Mungkin kami juga sama-sama menahan hal yang sama, sampai akhirnya kami tiba di Pos 3. Dan hujan pun turun…………………..
Sungguh beruntung saat hujan turun kami berada di Pos 3. Tepat setelah kami melahap sarapan dari secuil roti. Berteduh, menunggu, menunggu, dan terus menunggu hujan reda. Kelelahan, kedinginan, dan berada dalam ketidakpastian kapan hujan akan reda, kapan kami akan melanjutkan perjalanan, dan kapan kami akan sampai di puncak.
Dua jam berlalu, hujan mulai reda, dan kami berunding. Lanjut atau pulang? Kami tidak membawa jas hujan, lalu bagaimana kalau di tengah jalan hujan lagi? Kami tidak membawa tenda, lalu bagaimana jika sampai puncak siang atau sore hari yang berarti terpaksa menginap? mengingat perjalanan kami yang merayap. Semua kemungkinan diutarakan. Jawabannya tetap satu…..Lanjut. Urusan nanti ya dipikirkan nanti. Tujuan utama dan pertama adalah sampai puncak. Fokuskan saja pada itu. Begitulah mungkin pikiran kami. Sudah lebih dari separo jalan, nanggung. Gila……? Bukan, ini hanya semangat. Ini adalah mimpi kami. Dengan semangat mereka, aku pun malu untuk menyerah.
Ternyata pagi lebih menyemangati kami untuk terus naik. Banyak hal yang dapat kami lihat, banyak hal yang dapat kami rasakan, dan banyak hal yang dapat kami nikmati. Kami berpikir akan seberapa banyak yang kami dapat di puncak nanti. Dan…..tibalah kami di Pos 4. Perjalanan pun akan lebih mudah. Kami habiskan bekal kami di Pos 4. Waktu menunjukkan sekitar pukul 10.00. Waktu untuk sarapan sekaligus makan siang kami. Satu Pop Mie plus satu gelas teh hangat.
Sekitar pukul 11.30 kami akhirnya sampai di puncak. Puncak Argo Dumilah. Akhirnya, perjuangan berat itu membuahkan hasilnya. Sampai di Pos 5, kami sudah tidak peduli dengan Sendang Drajad, Argo Dalem, Argo Dumiling, atau Argo-argo yang lain. Tujuan kami hanya puncak Lawu. Hanya itu…..perjalanan berat kami dan waktu yang mengejar kami membuat kami hanya memiliki satu tujuan.
tersenyum pada dunia
(no comment)
tadabbur alam
kenangan abadi
T-O-P B-G-T
Terlihat sekali bahwa kami tidak pernah olahraga. Lucu rasanya jika membayangkan perjalanan menuju puncak lebih banyak dihabiskan untuk istirahat. Berjalan beberapa meter kemudian istirahat. Lanjut lagi beberapa meter, istirahat lagi. Tujuan utama adalah sampai puncak, bukan sampai dengan cepat di puncak. So, tidak masalah bagi kami untuk selalu berhenti untuk sekedar mengatur nafas atau meregangkan kaki.
alon-alon......banget
Semakin lama kami berjalan semakin kami kurang percaya kepada semua orang yang turun dari puncak. Jawaban mereka selalu berbeda-beda saat ditanya berapa lama lagi kira-kira sampai puncak. Bodohnya, kami tetap saja bertanya kepada setiap orang yang berpapasan. Setidaknya, semangat kami kembali terlecut saat masih ada yang mengatakan “Sebentar lagi sampai.”
Sekitar pukul 02.30 pagi kami sampai di Pos 2. Cukup ramai dan ada warungnya. Banyaknya pendaki yang tidur menggoda kami untuk tidur sejenak. Tiga jam berjalan membuat kami cukup lelah. Tidurlah kami barang sejenak. Dari kami bertiga, hanya Anya yang tidak tidur. Mau tau apa yang dikerjakannya? Main game di Hpnya.
Satu jam kami gunakan untuk tidur……dan perjalanan pun dilanjutkan. Polanya masih sama, jalan dan istirahat, jalan dan istirahat. Shubuh menjelang, matahari pun mulai menjulang, dan perjalanan kami (katanya) belum sampai setengahnya. Entah yang lain, bagi Emal dari sinilah dimulainya cobaan, bujukan, dan hasutan untuk berhenti dan turun kembali.
Setelah Shalat, tubuh ini mulai melawan. Berada di ketinggian yang tidak biasa membuat badan ini terus memberontak. Perut mulai mual, kepala terasa berat, dan dada sudah mulai sesak. Mungkin perbedaan tekanan dan udara yang mulai menipis yang menyebabkan ini semua. Aku ingin menyerah….ingin sekali. Tapi kutahan karena melihat semangat teman-teman yang lain. Entah mereka merasakan hal yang sama atau tidak. Tapi semangat mereka membuatku menahan segalanya. Mungkin kami juga sama-sama menahan hal yang sama, sampai akhirnya kami tiba di Pos 3. Dan hujan pun turun…………………..
“Sebab dengan menyerah, kita tidak akan pernah tau apakah kita bisa atau tidak.”
Sungguh beruntung saat hujan turun kami berada di Pos 3. Tepat setelah kami melahap sarapan dari secuil roti. Berteduh, menunggu, menunggu, dan terus menunggu hujan reda. Kelelahan, kedinginan, dan berada dalam ketidakpastian kapan hujan akan reda, kapan kami akan melanjutkan perjalanan, dan kapan kami akan sampai di puncak.
Dua jam berlalu, hujan mulai reda, dan kami berunding. Lanjut atau pulang? Kami tidak membawa jas hujan, lalu bagaimana kalau di tengah jalan hujan lagi? Kami tidak membawa tenda, lalu bagaimana jika sampai puncak siang atau sore hari yang berarti terpaksa menginap? mengingat perjalanan kami yang merayap. Semua kemungkinan diutarakan. Jawabannya tetap satu…..Lanjut. Urusan nanti ya dipikirkan nanti. Tujuan utama dan pertama adalah sampai puncak. Fokuskan saja pada itu. Begitulah mungkin pikiran kami. Sudah lebih dari separo jalan, nanggung. Gila……? Bukan, ini hanya semangat. Ini adalah mimpi kami. Dengan semangat mereka, aku pun malu untuk menyerah.
Ternyata pagi lebih menyemangati kami untuk terus naik. Banyak hal yang dapat kami lihat, banyak hal yang dapat kami rasakan, dan banyak hal yang dapat kami nikmati. Kami berpikir akan seberapa banyak yang kami dapat di puncak nanti. Dan…..tibalah kami di Pos 4. Perjalanan pun akan lebih mudah. Kami habiskan bekal kami di Pos 4. Waktu menunjukkan sekitar pukul 10.00. Waktu untuk sarapan sekaligus makan siang kami. Satu Pop Mie plus satu gelas teh hangat.
Sekitar pukul 11.30 kami akhirnya sampai di puncak. Puncak Argo Dumilah. Akhirnya, perjuangan berat itu membuahkan hasilnya. Sampai di Pos 5, kami sudah tidak peduli dengan Sendang Drajad, Argo Dalem, Argo Dumiling, atau Argo-argo yang lain. Tujuan kami hanya puncak Lawu. Hanya itu…..perjalanan berat kami dan waktu yang mengejar kami membuat kami hanya memiliki satu tujuan.
Sebuah rasa yang tiada tara saat kami mencapai Puncak Lawu. 3265 di atas permukaan laut. Bersyukur tidak ada kata menyerah. Sebab dengan menyerah, kita tidak akan pernah tau apakah kita bisa atau tidak. Jika tadi kami menyerah, kami tidak pernah tau apakah berhasil atau tidak. Dan ternyata kami bisa. Yes…..We Can!
tersenyum pada dunia
(no comment)
tadabbur alam
kenangan abadi
T-O-P B-G-T
Langganan:
Postingan (Atom)