Selasa, 27 April 2010

Mila, Gadis kecil di Sri Tanjung

Kereta api kelas ekonomi Sritanjung melaju menuju Surabaya. Aku terbangun saat kereta berhenti di Stasiun Kertosono. Setengah sadar, tiba-tiab saja sudah ada dua orang yang duduk di kursi kami. Seorang kakek dan gadis kecil yang dibawanya, sang cucu. Mila namanya.

Oleh sang kakek, Mila didudukkan sendiri di bangku kereta. Persis di sampingku. Mila diam saja, namun matanya menatap kemana-mana. Keingtahuannya sedang tinggi, normal untuk anak seumurannya. Wajahnya khas Indonesia. Rambutnya diponi. Sebuah bando terpasang di atasnya. Membuat Mila terlihat lebih cantik. Lepas dari itu, matanya yang membuatnya menawan. Sayang, Mila jarang tersenyum.
Mbah Kung--begitu panggilan Mila pada kakeknya--bercerita pada kami, Mila baru berumur 4 tahun. Sejak lahir hingga berumur tiga tahun, Mila masih bersama orangtuanya di Batam. Ibunya seorang pekerja di perusahaan optik. Ayahnya pekerja di bagian pertukangan. Tidak ingin selalu ditinggal tiap hari, orangtuanya menitipkan Mila pada kakeknya, sejak setahun lalu.

Aku berpikir, kenapa mesti bekerja keras jika harus jauh dari anak? Namun aku juga menyadari, terkadang mereka tidak punya pilihan lain dalam menyambung hidup. Pasti banyak anak-anak seperti Mila. Sebagian dari mereka bertahan. Namun tanpa kasih sayang, sebagian dari mereka nyaris tanpa masa depan. Kini, Mila harus berjuang melawan waktu untuk tidak bersama orangtuanya, entah sampai kapan. Namun setidaknya ia memiliki Mbah Kung yang siap mencurahkan semuanya.
Kereta api kelas ekonomi adalah lahan basah bagi sebagian pengasong. Salah satunya tentu saja pedagang mainan. Mila kecil sedang melihat buku-buku mewarnai ditangannya. Seorang pengasong baru saja meletakkannya tepat di pangkuan Mila. Mila balik lembar demi lembar. Matanya bersemangat, ia inginkan buku itu. Belum sempat mengutarakan, Mbah Kung sudah berkata, "Nanti majalahnya dikembalikan ke mas-nya, ya!" Mila hanya diam.

Hal serupa terjadi lagi. Kini mainan yang bisa dibongkar pasang. Kembali Mbah Kung mengatakan hal yang sama. Kembali Mila hanya diam. Aku berpikir, benarkah anak sekecil ini sudah mengerti keadaan kakeknya? Jawabannya tidak.

Tiba-tiba mata indah Mila berkaca-kaca. Tak tertahankan, satu tetes air mata itu keluar juga. Sejak tadi, memang Mila tidak merengek ataupun meminta langsung. Ia hanya menahan dan mengeluarkannya dalam bentuk lain. Anak kecil tetaplah anak kecil, yang selalu jujur.
"Loh koq nangis, nanti jelek loh," begitu kata Mbah Kung. Tidak tega, sang kakek pun membelikannya mainan dari pengasong yang lain, sebuah rubik cubs sederhana 3x3. sepertinya, matanya akan kembali berkaca-kaca jika semua sisi tidak bisa kembali ke posisi semula.

1 komentar:

Ciput Mardianto mengatakan...

selalu banyak cerita jika bepergian, entah naik bus ataupun kereta api