Kereta api kelas ekonomi Sritanjung melaju menuju Surabaya. Aku terbangun saat kereta berhenti di Stasiun Kertosono. Setengah sadar, tiba-tiab saja sudah ada dua orang yang duduk di kursi kami. Seorang kakek dan gadis kecil yang dibawanya, sang cucu. Mila namanya.
Oleh sang kakek, Mila didudukkan sendiri di bangku kereta. Persis di sampingku. Mila diam saja, namun matanya menatap kemana-mana. Keingtahuannya sedang tinggi, normal untuk anak seumurannya. Wajahnya khas Indonesia. Rambutnya diponi. Sebuah bando terpasang di atasnya. Membuat Mila terlihat lebih cantik. Lepas dari itu, matanya yang membuatnya menawan. Sayang, Mila jarang tersenyum.
Mbah Kung--begitu panggilan Mila pada kakeknya--bercerita pada kami, Mila baru berumur 4 tahun. Sejak lahir hingga berumur tiga tahun, Mila masih bersama orangtuanya di Batam. Ibunya seorang pekerja di perusahaan optik. Ayahnya pekerja di bagian pertukangan. Tidak ingin selalu ditinggal tiap hari, orangtuanya menitipkan Mila pada kakeknya, sejak setahun lalu.
Aku berpikir, kenapa mesti bekerja keras jika harus jauh dari anak? Namun aku juga menyadari, terkadang mereka tidak punya pilihan lain dalam menyambung hidup. Pasti banyak anak-anak seperti Mila. Sebagian dari mereka bertahan. Namun tanpa kasih sayang, sebagian dari mereka nyaris tanpa masa depan. Kini, Mila harus berjuang melawan waktu untuk tidak bersama orangtuanya, entah sampai kapan. Namun setidaknya ia memiliki Mbah Kung yang siap mencurahkan semuanya.
Kereta api kelas ekonomi adalah lahan basah bagi sebagian pengasong. Salah satunya tentu saja pedagang mainan. Mila kecil sedang melihat buku-buku mewarnai ditangannya. Seorang pengasong baru saja meletakkannya tepat di pangkuan Mila. Mila balik lembar demi lembar. Matanya bersemangat, ia inginkan buku itu. Belum sempat mengutarakan, Mbah Kung sudah berkata, "Nanti majalahnya dikembalikan ke mas-nya, ya!" Mila hanya diam.
Hal serupa terjadi lagi. Kini mainan yang bisa dibongkar pasang. Kembali Mbah Kung mengatakan hal yang sama. Kembali Mila hanya diam. Aku berpikir, benarkah anak sekecil ini sudah mengerti keadaan kakeknya? Jawabannya tidak.
Tiba-tiba mata indah Mila berkaca-kaca. Tak tertahankan, satu tetes air mata itu keluar juga. Sejak tadi, memang Mila tidak merengek ataupun meminta langsung. Ia hanya menahan dan mengeluarkannya dalam bentuk lain. Anak kecil tetaplah anak kecil, yang selalu jujur.
"Loh koq nangis, nanti jelek loh," begitu kata Mbah Kung. Tidak tega, sang kakek pun membelikannya mainan dari pengasong yang lain, sebuah rubik cubs sederhana 3x3. sepertinya, matanya akan kembali berkaca-kaca jika semua sisi tidak bisa kembali ke posisi semula.
Selasa, 27 April 2010
Jogja..Jogja...Jogja....
Siapa yang tidak tahu Jogja? Siapa yang tidak suka gudeg? Dan siapa yang tidak kenal ke-kreatif-an anak-anak jogja? Tidak perlu menjawab semua. Karena yang kalian perlu tahu adalah bahwa aku juga cinta Jogja. Heheeee…….
Perjalan kami kali ini hanya berlangsung tiga hari saja. Jika dikurangi lamanya perjalanan mengunakan kereta api, praktis hanya sehari semalam kami di Jogja. Dan itu cukup untuk menyelesaikan tujuan serta mencari berbagai macam titipan yang nggak jelas juntrungannya. But, I'm Sorry. Aku gak bisa menjelaskan apa tujuanku di Jogja. Toh, itu juga tidak terlalu penting. Ehemm&^^&%*(
Lalu, apa yang bisa dilakukan selama sehari semalam tersebut? Sedikit sekali. Sehari for destiny, dan baru malam kami menikmati dinginnya Jogja, itupun setelah harus mengeluarkan keringat dulu dengan bermain tennis.
Buku-buku balai pustaka, mug khas Jogja, malam dan pewarna kain batik; adalah bermacam titipan anak-anak lantai 6. Lengkap dengan permintaan bakpia pathok sebagai oleh-oleh. Habislah malam itu dengan mencari semua barang titipan. Untungnya, Jogja tidak seluas Surabaya. Meski harus muter-muter, tetep asyik-asyik aja.
Marning itu menjadi satu-satunya makanan kami di kereta Sri Tanjung menuju Surabaya, plus satu botol air mineral. Cerita berawal saat pagi itu kami hampir tertinggal kereta. Semua berawal dari teman-teman pengantar kami yang sulit sekali dibangunkan. Sebabnya tak lain pesta wisuda di UPN hingga hampir pagi. Kami pun terpaksa mencari teman lain untuk mengantar. Di tengah guyuran gerimis pagi di Jogja, kami diantar ke Lempuyangan. Malangnya kami tiba sesaat sebelum bel kereta berbunyi. Gak pake basa-basi, salaman, bahkan ucapan terimakasih; turun dari motor kami langsung berlari menuju kereta yang sudah mulai berjalan.
Saat di kereta yang sudah berjalan, masalah baru muncul. Kami belum membeli tiket. Dan total uang kami hanya IDR 46.000…..
Selanjutnya, berhitunglah sendiri!
Perjalan kami kali ini hanya berlangsung tiga hari saja. Jika dikurangi lamanya perjalanan mengunakan kereta api, praktis hanya sehari semalam kami di Jogja. Dan itu cukup untuk menyelesaikan tujuan serta mencari berbagai macam titipan yang nggak jelas juntrungannya. But, I'm Sorry. Aku gak bisa menjelaskan apa tujuanku di Jogja. Toh, itu juga tidak terlalu penting. Ehemm&^^&%*(
Lalu, apa yang bisa dilakukan selama sehari semalam tersebut? Sedikit sekali. Sehari for destiny, dan baru malam kami menikmati dinginnya Jogja, itupun setelah harus mengeluarkan keringat dulu dengan bermain tennis.
Buku-buku balai pustaka, mug khas Jogja, malam dan pewarna kain batik; adalah bermacam titipan anak-anak lantai 6. Lengkap dengan permintaan bakpia pathok sebagai oleh-oleh. Habislah malam itu dengan mencari semua barang titipan. Untungnya, Jogja tidak seluas Surabaya. Meski harus muter-muter, tetep asyik-asyik aja.
"Mbatik, mas!"
Ibu ini khusus diminta membatik di salah satu sudut Mirota Malioboro
(pada ibu inilah aku bertanya mana yang namanya malam dan mana yang namanya pewarna, hehee)
Ibu ini khusus diminta membatik di salah satu sudut Mirota Malioboro
(pada ibu inilah aku bertanya mana yang namanya malam dan mana yang namanya pewarna, hehee)
Dan akhirnya, tidak ada waktu senikmat waktu di perjalanan itu sendiri. Mengakulah wahai kawan, bahwa tidur itu nikmat bukan. Let me say, How poor you are! For Insomnia…..
Marning itu menjadi satu-satunya makanan kami di kereta Sri Tanjung menuju Surabaya, plus satu botol air mineral. Cerita berawal saat pagi itu kami hampir tertinggal kereta. Semua berawal dari teman-teman pengantar kami yang sulit sekali dibangunkan. Sebabnya tak lain pesta wisuda di UPN hingga hampir pagi. Kami pun terpaksa mencari teman lain untuk mengantar. Di tengah guyuran gerimis pagi di Jogja, kami diantar ke Lempuyangan. Malangnya kami tiba sesaat sebelum bel kereta berbunyi. Gak pake basa-basi, salaman, bahkan ucapan terimakasih; turun dari motor kami langsung berlari menuju kereta yang sudah mulai berjalan.
Saat di kereta yang sudah berjalan, masalah baru muncul. Kami belum membeli tiket. Dan total uang kami hanya IDR 46.000…..
Selanjutnya, berhitunglah sendiri!
Senin, 26 April 2010
Lagi-lagi, Menghadiri Pernikahan
Aku sudah lupa berapa walimahan yang kudatangi. Mulai dari diundang, ngikut doang, atau diminta menjadi sopir dadakan. Berbegai bentuk walimahan dari yang sederhana, biasa-biasa saja, agak mewah, sampai pesta besar di gedung yang juga besar; telah kusambangi. Untuk urusan akad, macam-macam pula bentuknya. Soal adat pun berbeda-beda, meski hampir semua adalah orang jawa.
Intinya diriku sudah kenyang itu semua. Ada orang yang bilang mesti mendaangi beberapa walimahan untuk menggelar walimahan sendiri. Yang lain bilang harus menyaksikan sejumlah x akad nikah sebelum mengalaminya sendiri. Ah……ambil pusing amat dengan semua itu. Ada yang nawari, sini aku cari. Loe jual gue beli. Heheee
Dan kali ini, orang yang beruntung mendapat kedatangan aku ini adalah Nur Cholis Dwi Saputro. Abangku yang asli Nganjuk. Selamet mas, Barakallahu laka Wa baraka 'alaika Wa jama'a bainakuma fii khair.
Kemudian, begini ini kalo alumni lagi reunian. Se-ada-nya tapi tetap bermakna.
Intinya diriku sudah kenyang itu semua. Ada orang yang bilang mesti mendaangi beberapa walimahan untuk menggelar walimahan sendiri. Yang lain bilang harus menyaksikan sejumlah x akad nikah sebelum mengalaminya sendiri. Ah……ambil pusing amat dengan semua itu. Ada yang nawari, sini aku cari. Loe jual gue beli. Heheee
Dan kali ini, orang yang beruntung mendapat kedatangan aku ini adalah Nur Cholis Dwi Saputro. Abangku yang asli Nganjuk. Selamet mas, Barakallahu laka Wa baraka 'alaika Wa jama'a bainakuma fii khair.
Kemudian, begini ini kalo alumni lagi reunian. Se-ada-nya tapi tetap bermakna.
Langganan:
Postingan (Atom)