Untuk UTS kali ini tidak ada rencana jelas akan ke mana kami. Belum lagi masalah akhir bulan yang menandakan dana yang terbatas. Kami pun mempertimbangkan banyaknya tugas yang diberikan. Perjalanan pun nyaris dibatalkan. Sampai akhirnya kami harus mereduksi beberapa hal. Pertama, perjalanan hanya dilakukan sehari tanpa menginap. Kedua, BM 4775 CF harus diistirahatkan dengan pertimbangan menghemat ongkos dan menjaga kondisi tubuh agar tetap fit. Kami pun memilih moda kereta api yang lebih murah, dan Blitar adalah tujuan. Tanpa alasan yang jelas memang. Mungkin karena belum penah ke sana. Yang jelas, bagi kami tujuan bukan hal yang terlalu penting. Yang penting adalah keluar dari Surabaya. Jauh dari kampus tercinta. Bukan untuk melupakan, tapi untuk lebih mencinta (heheee…ngegombal dikit).
Rapih Dhoho yang akan membawa kami ke Blitar via Kertosono berangkat pukul 04.55 WIB. Sayang, hanya karena terlambat bangun beberapa menit saja, kami harus menunda sampai keberangkatan berikutnya, 08.10 WIB, estimasi kedatangan pukul 13.30 di Blitar. Rencana untuk turun di Tulungagung dan mampir sebentar di Trenggalek pun dibatalkan, sebab kereta terakhir dari Blitar menuju Surabaya berangkat pukul 16.40. Tidak ada waktu untuk menyambangi Trenggalek, hanya karena telat bangun. Pelajaran pertama, satu rencana mengalami keterlambatan maka rencana berikutnya akan ikut terganggu. Sama halnya dengan kereta api, satu terlambat maka kereta selanjutnya akan ikut terlambat (untuk kondisi di Indonesia). Meski begitu, kami harus tetap jalan. Menjauh dari Surabaya.
Jalur yang dilalui kereta api memang membosankan. Hanya satu rel lurus tanpa pemandangan kaca yang mengasyikkan. Sawah…….sawah…..dan sawah. Itu saja. Tapi jika kita menyikapinya dengan sedikit arif, sabar, dan penuh rasa syukur. Sawah pun bisa memberikan segalanya. Perjalanan Surabaya-Blitar tak pernah lepas dari tanaman padi ini. Berakhirnya musim hujan adalah masa panen bagi para petani, padi sudah menguning, petani pun menikmati yang ditanamnya. Di beberapa tempat, padi baru telah tersemai, lahan pun sedang disiapkan, padi lama dibabat, traktor-traktor bekerja, petani pun mulai menanam. Semua ini terangkum dalam perjalanan menuju Blitar. Apa yang kami lihat, apa yang dilakukan petani, dan apa yang terjadi di sawah membentuk harmoninya sendiri. Alih-alih membosankan, kami justru mendapatkan simfoni hidup kesearian petani beserta hamparan sawah dan harapan mereka. Pelajaran kedua, jika hal sederhana mampu kita anggap luar biasa, maka hal itu akan menjadi luar biasa bagi kita. Semua tergantung dari apa yang kita pikirkan.
Di dalam kereta, kami harus mengalami masa-masa yang belum pernah kami alami, setidaknya untuk waktu selama itu. Jika biasanya kami bebas berbuat apa saja dengan BM 4775 CF, tidak demikian dalam kereta ekonomi Rapih Dhoho jurusan Surabaya-Kertosono-Blitar. Kita tidak bisa berhenti semaunya. Duduk pun harus berbagi dengan penumpang lainnya dengan tetap menjaga kesopanan. Berkeringat sudah semestinya, apalagi jika kereta berhenti di tiap stasiun. Belum lagi asap rokok yang terkadang mengepul dari beberapa mulut penumpang. Mau tidak mau dan suka tidak suka, semua itu adalah bagian perjalanan kami. Meski begitu, kami jadi tahu banyak hal dari Rapih Dhoho. Tahu bagaimana rasanya naik kereta ekonomi, tahu informasi-informasi baru dari penumpang lain, dan tahu bagaimana enaknya pecel Kertosono, jajanan kereta seharga Rp 2000. Salah satu penumpang di samping kami pernah mengatakan, naik kereta ekonomi itu melatih kesabaran, sabar dalam menunggu kereta berhenti saat kres dengan kereta lain, sabar dalam udara panas, sabar dalam berdesakan, dan sabar dalam segala ketidaknyamanan. Kami jadikan hal itu pelajaran ketiga, dan kami menikmatinya.
Tulungagung-Blitar matahari tidak lagi menyengat. Awan mulai mendung. Titik air pun mulai membasahi kaca jendela kami. Dan akhirnya hujan pun turun. Hujan selalu nikmat untuk dirasakan. Hujan selalu hikmat untuk diresapi. Perjalanan pun semakin terasa menyenangkan. Sampai Stasiun Blitar, hujan masih turun. Sepertinya Blitar menyambut kami dengan keramahan dari hujan yang diberikannya. Kami pun bersyukur dengan mendirikan kewajiban lima waktu. Sebelum akhirnya menjelajah kota Blitar dalam waktu kurang dari 3 jam. Sebab kereta terakhir ke Surabaya, Penataran, berangkat pukul 16.40.
Kami tak tahu Blitar. Ini pertama kalinya kami menginjakkan kaki di salah satu kota di selatan Jawa timur ini. Dengan waktu yang sedikit kami hanya ingin ke Alun-alun sebagai wajah kota yang juga selalu ada di setiap kota di Jawa dan tentu saja Makam Sang Proklamator, Soekarno. Hanya itu yang kami tahu. Jika menggunakan BM 4775 CF, kami akan sangat mudah bertanya dan mencari. Namun sekarang tidak. Tapi justru kami berkesempatan memanfaatkan kearifan lokal yang ada, becak. Sayang, hujan belum reda sehingga kami tidak leluasa menikmati kota dalam perjalanan menuju Makam Bung Karno.
suasana makam..
Hari semakin sore, kami harus bergegas. Alun-alun pun hanya kami lalui sekilas. Sekilas mengambil gambar dan sekilas membagi kecerian bersama arek-arek Blitar. Tujuan selanjutnya adalah mencari makanan khas Blitar. Perut sudah lapar, maklum saja seharian baru terisi oleh pecel Kertosono. Dari abang becak, makanan khas Blitar hanya pecel. Sayang sekali, jauh-jauh dari Surabaya haruskah makan pecel. Kami pun lebih memilih warung lokak di area stasiun Blitar sore itu. Warung asli Blitar yang menyediakan makanan khas Jawa Timur bagian Selatan. Gulai daun singkong, telur dadar, dan kresengan tahu tempe. Khas sekali daerah selatan, pedas dan maknyuuussss. Cukup untuk menemani sisa waktu menunggu Penataran datang.
Penataran baru tiba sekitar pukul 17.45. Terlamabat lebih dari 60 menit dari waktu seharusnya. Penumpang tentu saja mengeluh. Namun gerutuan mereka reda dengan sendirinya saat mendapat bangku kosong. Jika hari itu adalah hari Ahad, kemungkinan besar kami pun akan berdiri. Kereta berangkat……hari pun semakin gelap.
Salah satu hal yang ingin kami lihat saat melakukan perjalanan ke Blitar adalah dua terowongan kereta pada jalur Blitar-Kepanjen. Namun gelap sudah melarut, kami pun tidak bias melihat apa-apa di luar. Hanya sekedar tahu kalau sekarang sedang melewati terowongan tanpa bisa melihat dan merasakan sensasinya. Keterlamabatan kereta mungkin yang bisa disalahkan. Tapi telat bangun tetap menjadi awal dari segalanya. Ini semua bukanlah perjalanan yang sempurna. Kami batal ke Trenggalek, tidak bisa menjelajahi ilmu di Perpustakaan Bung Karno, dan tidak bisa merasakan sensasi melewati terowongan. Pelajaran keempat, perjalanan yang tidak direncanakan memang akan menimbulkan hal-hal baru tak terduga, namun perjalanan yang direncanakan akan mendapatkan hal-hal yang lebih memuaskan. Kami merasakan itu pada perjalanan kami kali ini yang berprinsip “yang penting berangkat dulu”.
Sampai Malang, banyak penumpang turun, kereta menuju Surabaya mulai sepi. Kami manfaatkan bangku kosong untuk berbaring. Menjaga barang berharga, membuat bantal dari tas, meregangkan kaki, dan kemudian terlelap. Pelajaran terakhir yang kami dapat dari perjalanan ini adalah banyak pelajaran yang kami dapatkan. Maka jangan pernah bosan untuk jalan-jalan, karena akan selalu ada pelajaran dalam setiap perjalanan.