Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00, gelap akan datang. Ketakutan perlahan merasuki kami saat menyadari bahwa kami sedang berada di sebuah desa terpencil di kaki gunung Wilis. Masalahnya, kami jauh dari rumah penduduk. Kami tidak tahu sedang di mana. Tapi kami terus berjalan, meski tidak tahu di mana ujung jalannya. Bahkan kami tidak tahu, apakah jalan ini berujung.
Ada harapan saat akhirnya menemui makhluk sejenis kami yang sedang bekerja di ladang. Alhamdulillah, jalan yang kami lalui berujung meski sebenarnya salah, kata orang yang kami temui tadi. Dan ujung jalan itu adalah desa tujuan kami. Desa Nglutung, Kecamatan Sendang, Tulungagung. Sebuah desa kecil terpencil di kaki gunung Wilis. Desa inilah tempat besar dan lahir seseorang yang kami tuju. Seseorang yang selain tujuan kami juga informan yang telah menyesatkan kami. Agghhhhh…..
Rumah Elok..
Elok. Begitu sapaan akrab orang yang kami tuju. Dengan berat hati, saya tidak dapat memberikan informasi tentang siapa Elok lebih lanjut. Ada waktu untuk itu. Tapi satu hal yang pasti, tujuan kami adalah untuk mendalami siapa Elok itu. Di rumah yang sederhana, kami disambut bak raja. Pertama, kopi panas menyapa kami setelah lelah berkendara. Dan balasan kami adalah mencak-mencak karena Elok salah memberi petunjuk.
Rumahnya sederhana, keluarganya ramah. Setelah kopi, buah-buahan menyambut kami, dan berakhir dengan sebakul nasi, semangkuk sayur rebung, sepiring sambel goreng ati yang dicampur kentang, tahu goreng, dan tidak lupa kerupuk udang. Tidak ada penolakan apalagi basa-basi. Jawaban kami saat ditawari adalah “dengan senang hati”. Dalam hati kami bersorak, inilah yang kami tunggu sedari tadi. Tidak peduli 35 jam sudah badan tidak menyentuh air, yang penting perut harus terisi setelah 10 jam kosong dalam perjalanan panjang dan melelahkan.
Rumahnya sederhana, keluarganya ramah. Setelah kopi, buah-buahan menyambut kami, dan berakhir dengan sebakul nasi, semangkuk sayur rebung, sepiring sambel goreng ati yang dicampur kentang, tahu goreng, dan tidak lupa kerupuk udang. Tidak ada penolakan apalagi basa-basi. Jawaban kami saat ditawari adalah “dengan senang hati”. Dalam hati kami bersorak, inilah yang kami tunggu sedari tadi. Tidak peduli 35 jam sudah badan tidak menyentuh air, yang penting perut harus terisi setelah 10 jam kosong dalam perjalanan panjang dan melelahkan.
***
Kami sarapan hanya dengan pecel dan telur ceplok pagi itu. Cukup membuat hangat setelah kedinginan dalam perjalanan. Kami berangkat dari Surabaya tepat sebelum Shubuh. Tujuan pertama kami adalah Malang menemui Ijang. Sebelum akhirnya ke Tulungagung menemui Elok. Harapan kami, pecel seadanya yang kami santap di belakang Universitas Muhammadiyah Malang ini dapat memberi tenaga penuh dalam perjalanan kami sampai siang nanti. Maklum, pagi itu kami memang berencana tracking ke Lembah Kera.
Jalur menuju Lembah Kera memang tidak sulit, tapi lumayan jauh. Bersama Ijang yang kami temui di Malang, kami menelusuri jalanan setapak menembus ladang penduduk. Sekitar 15 menit tebing-tebing tinggi itu pun mulai tampak. Berwarna kuning menjulang di hijaunya hutan. Menantang para pemanjat tebing manapun untuk mencobanya. Terletak di Pagak, sebelah Selatan kota Kepanjen Malang, Lembah Kera adalah salah satu surga bagi para pemanjat tebing. Di sini pulalah banyak atlet besar lokal maupun nasional lahir. Salah satunya adalah Ijang.
Tidak lama kami berada di Lembah Kera. Tujuan kami hanya ingin merasakan bagaimana Lembah Kera itu. Melihat bagaimana Ijang menunjukkan kebolehannya merayap di dinding tebing sembari menikmati keeksostisan tebing-tebingnya. Sebelum siang, kami pun beranjak menuju Tulungagung. Menempuh perjalanan panjang lagi menuju rumah Elok.
Perjalanan kami kali ini memang hanya untuk mengenal lebih dekat Ijang dan Elok. Namun sebelum itu, biarkan kami pacaran dulu di Ngliyep. Heheeeee. Supaya lebih intim saja gitu….&*%^$#^&.