Berbeda ketika menuju air terjun Ngadiloyo, kami tidak melalui jalan yang biasa dilalui pengujung di Pundak Kiwo ini. Menembus rumpunan bambu, menerobos semak belukar, menapaki petak-petak ladang para penduduk, sampai berjalan hikmat di bawah pepohonan cemara yang menjulang tegak. Sebuah jalan pintas yang membuat kami bisa melihat Ngancar dari atas perbukitan. Ngancar dengan segala aktivitasnya.
Ngancar merupakan satu dari sekian banyak desa yang terdapat di kaki gunung Lawu. Satu diantara ribuan desa di gunung-gunung lainnya. Boleh rasanya menyimpulkan bahwa desa-desa lain yang berada di gunung tak jauh beda dengan Ngancar. Terlebih aktivitas kesehariannya.
nyaris 900 membuat konstruksi bangunannya benar-benar mempesona (sipil banget…). Entah seperti apa pondasi yang mereka buat. Padahal rumah mereka mayoritas berbahan baku batu kali dan pasir campur kapur. Konstruksi atap lebih banyak di dominasi oleh bambu.
GentengNgancar adalah desa yang terletak diantara pungung-punggung bukit. Kemiringan bukit yang tetap menjadi pilihan. Bahkan ada sebuah rumah yang semuanya berasal dari bambu. Pondasi, tiang, dinding, kuda-kuda atap, kecuali atap semua dari bambu. Dan rumah ini sudah dapat menahan angin lembah yang begitu kencang. Namun belakangan, sudah banyak terdapat rumah-rumah modern di Ngancar.
Air bersih bukan menjadi masalah di Ngancar. Gratis dan benar-benar bersih. Diambil langsung dari sumbernya, namun tetap dengan pengelolaan layaknya PDAM. Semua orang bebas menggunakan untuk apa saja, baik itu MCK ataupun menyirami ladang-ladang mereka. Semua gratis dan tidak perlu takut habis. Benar-benar anugrah alam untuk warga ngancar.
Seperti desa-desa di Jawa. Rumah-rumah berkumpul dalam satu tempat. Sedangkan kebun mereka di tempat yang lain. Rumah yang satu dan dan yang lainnya saling berhimpitan. Hanya dipisahkan oleh gang kecil. Kondisi ini membuat setiap orang pastinya akan saling mengenal orang lainnya. Pernah ada cerita, dulu sekali tidak perlu undangan untuk mengundang seseorang dalam suatu acara. Cukup dari mulut ke mulut saja. Cukup dari jendela ke jendela.
“Bagi mereka, ada semacam tabu jika tidak dapat memuaskan atau membuat betah seorang tamu.”
Mayoritas penduduknya bertani di ladang-ladang. Mulai dari lembah sungai sampai atas serta sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Tapi tetap saja namanya bukan kota.Ngancar tidak bisa dikatakan masih terbelakang. Sudah ada listrik negara, jaringan telepon, punggung bukit habis dibabat untuk dijadikan ladang. Tidak pernah terjadi longsor yang berarti, sebab mereka lebih mengerti batas-batasnya. Kubis, wortel, bawang daun, bawang merah, kentang, seledri, kapri yang biasanya menjadi komoditas petani Ngancar. Kubis dan wortel menjadi primadona. Dari sayuran itu semua mereka dapat hidup dan menghidupi.
Seiring terbitnya matahari, para petani ini sudah mulai beranjak ke ladang masing-masing. Jika bukan masa panen, mereka hanya menyiangi rumput pengganggu, menggemburkan tanah sekitar tanaman, atau hanya sekedar memperbaiki saluran penyiraman. Satu hal yang menjadi kebiasan mereka saat pulang dari ladang adalah membawa rumput untuk ternak. Jangan heran jika di setiap rumah, di samping dapur, terdapat setidaknya seekor sapi. Tak pernah digembalakan. Hanya diberi rumput setiap hari. Tunggulah besar, maka mereka akan mengahasilkan uang.
Ngancar bersebelahan langsung dengan Sarangan. Selain bertani, Sarangan adalah lahan mencari nafkah terbesar kedua di Ngancar. Membuka warung makan dan jajanan, menawarkan jasa foto, penyewaan kuda dan speedboat, menawarkan jasa memandu ke Ngadiloyo, dan lain sebagainya. Sarangan sudah menjadi penggerak ekonomi setelah bertani di Ngancar.
Lain daripada itu, para pemuda akhir-akhir ini lebih tertantang untuk mencari nafkah di luar Ngancar. Merantau, keluar dari desa. Bagi mereka yang beruntung dan mau bekerja keras, hasilnya akan lebih besar dari sekedar bertani atau bergantung pada Sarangan.
Masyarakat Ngancar dikenal ramah kepada siapa saja. Begitu pula dengan warga di sekitar Sarangan lainnya. Bukan hanya karena Sarangan selalu didatangi oleh orang asing, tapi juga karena dan memang lebih karena kultur budaya setempat yang demikian. Saat berpapasan dengan warga, setidaknya sapalah seadanya. Jika kita seorang tamu, cobalah untuk tidak menerima pemberian. Mereka benar-benar ramah. Bagi mereka, ada semacam tabu jika tidak dapat memuaskan atau membuat betah seorang tamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar