Kamis, 20 Agustus 2009

Akhirnya ke Ijen Juga....

“Sejak saya di sini, gak pernah sekalipun ke kawah!”
Begitu kata Pak Radi dengan logat maduranya yang khas. Saat baru saja beristri, Pak Radi memutuskan merantau ke Sempol meninggalkan kampungnya di Sumenep. Kini Pak Radi telah memiliki empat orang anak dan hampir memiliki cucu. Seperti kebanyakan warga Sempol, Pak Radi dan istrinya juga bekerja pada perkebunan kopi. Sebagai pemetik biji kopi yang kemudian diolah, dikemas, dan kita kenal sebagai kopi Arabika. Di rumah Pak Radi inilah kami bermalam. Istirahat dan mengumpulkan tenaga untuk menaklukkan Kawah Ijen keesokan harinya.

Berangkat pukul tujuh pagi dari Surabaya, kami baru sampai di sempol beberapa saat sebelum maghrib. Normalnya, perjalanan dapat ditempuh sekitar 6-7 jam dengan rute Surabaya-Probolinggo-Besuki-Bondowoso-Sukosari-Sempol. Apa mau dikata, keadaan berkata lain. Satu kali ban bocor, satu kali pecah ban, dua kali istirahat, dan lebih dari satu jam menunggu hujan reda membuat waktu kami banyak terbuang. Belum lagi parahnya kondisi jalan Bondowoso-Sempol yang membuat kami tertatih menuju tujuan. Tapi semua terbayar.

Sempol adalah salah satu kecamatan di Bondowoso meski luas dan lingkungannya lebih mirip sebuah desa. Penduduk Sempol di dominasi oleh Jawa dan Madura dengan perbandingan lebih besar pendatang dari Madura. Hampir semuanya bekerja pada perkebunan kopi Arabika. Inilah desa terdekat dari Kawah Ijen. Meski begitu, seperti Pak Radi, sebagian besar penduduk tidak pernah sekalipun ke Kawah Ijen. Inilah desa tempat film King dibuat. Meski demikian, tidak ada warga Sempol yang pernah melihat film King.Hanya ada dua penginapan di Sempol. Penduduk Sempol menyebutnya hotel meski sebenarnya lebih mirip homestay. Keduanya adalah Arabika dan Blawan. Keduanya milik perkebunan. Untuk kelas ekonomi harganya 125 ribu dan standar seharga 170-200 ribu per malam, itupun hanya boleh untuk dua orang. Terlalu mahal bagi kami yang empat orang. Sejarah pun tidak mengizinkan kami untuk pernah menikmati Arabika yang terkenal itu. Beruntung kami bertemu BuYit, seorang ibu yang menyuguhkan kami makan siang yang dimakan menjelang maghrib. Bu Yit ini adalah kakak dari istrinya pak Radi. Dari Bu Yit kami mengenal Pak Radi yang bersedia memberikan satu kamarnya plus segala isinya, dengan harga sukarela saja. Andai kami makan tidak di warung Bu Yit, mungkin sejarah mencatat kami tidur dalam masjid di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut tanpa selimut.
Pukul enam kami sudah meninggalkan rumah pak Radi. Setelah sejenak melihat kebun strawbery dan mencari jejak lokasi shooting King, kami pun langsung menuju Paltuding. Paltuding merupakan pos pertama sebelum mendaki kawah. Jaraknya 14 km dari Sempol. Jarak yang cukup memuaskan untuk menikmati keindahan pegunungan Ijen. Dari Paltuding, perjalanan pun hanya bisa diteruskan dengan berjalan kaki. Di Paltuding ini juga sebenarnya terdapat penginapan. Hanya saja lebih dingin dari Sempol dan karena jumlahnya terbatas harus memesan jauh hari sebelumnya.
“Piano….pianoo….”
Inilah kata-kata yang sering kami lantunkan sepanjang perjalanan sejauh 3,2 km dari paltuding menuju kawah. Piano adalah bahasa Italia yang berarti pelan-pelan. Sebenarnya menyebutnya cukup sekali, tapi karena kami biasa menyebut “pelan-pelan”, jadinya kami sebut saja “piano-piano”. Seorang Itali yang bersama kami berkata, “piano-piano…hemmm, slowly-slowly!” itu berarti pelan-pelan-pelan-pelan. Hehee…..tak apalah.

Teman kami sepanjang perjalanan memang banyak dari Italia. Ada beberapa rombongan yang ditemani oleh tour guide-nya masing-masing. Tour guide yang juga penerjemah inilah yang membantu kami berkomunikasi dengan turis Italia. No English….tidak Indonesia, Italiano…piano-piano! Pembicaraannya tentu saja tak pernah jauh dari Valentino Rossi, Silvio Berlusconi, Fransesco Totti, Del Piero,dan espulso, serta tentu saja……Mamma Mia!

Beberapa tour guide yang kami jumpai juga asyik berbagi cerita pengalaman mereka dan bagaimana mereka menjalani hidup. Cukup menginspirasi dan menambah motivasi kami. Bagaimana mereka berkomunikasi, bersikap pada turis, menguasai banyak bahasa, dan tentu saja keliling Indonesia tanpa biaya……..Mamma Mia!!

Jarak 3,2 km memang tidak seberapa dibanding Lawu. Medannya pun tak seberat Lawu. Tapi tetap saja ngos-ngosan….(maklum sejak pulang kurang olahraga). Sebenarnya jalurnya sih asyik-asyik aja. Jalan tanah dengan lebar yang lumayan dan kelandaian yang tidak terlalu curam. Kiri kanan hutan dengan pohon-pohon sebangsa akasia berdaun kecil (kalo gak salah). Adem aja rasanya selama perjalanan. Mantapnya lagi, terdapat penanda tiap seratus meter. Jadi kita tahu berapa jauh kita berjalan dan seberapa jauh lagi tujuan kita.


Dua ribu meter dari Paltuding, kami istirahat di pos penimbangan belerang. Lagi-lagi bercengkrama dengan Italiano. Ngalor ngidul yang penting ngakak lah. Dari pos ini, sisa perjalanan lebih banyak melewati jalan datar melingkari sisi bukit. Pemandangan pun menjadi lebih luas dan puas. Sampai akhirnya “Selamat, Anda Sampai di Kawah Ijen 2380 m dpl”
“Mamma Mia……” kata rekan Italia kami. Kami pun menimpali…
“Subhanallah………”
Kamera pun beraksi dan narsisme mulai menjangkiti

Sayang, oleh sebab asap tebal belerang…hanya dua orang dari kami yang turun ke kawah. Menapaki jalur sempit berbatu…..berpapasan dengan para pemikul…….melawan asap yang kian pekat. Harus ada yang turun.














Riau Origins: Siak Sri Indrapura

Ada ratusan kerajaan di Indonesia. Menyebar dari Bumi Aceh hingga pedalaman papua. Semuanya telah ada sejak bangsa belum merdeka dan semuanya memiliki peran dalam melawan kolonial. Sebagian dari mereka masih eksis dan terus mewarisi tradisi budayanya di tengah perkembangan zaman. Sebagian yang banyak dikenal tentu saja kesultanan Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon. Namun ternyata ada juga kerajaan yang tidak mampu meneruskan tahtanya dengan sebab tertentu. Kesultanan Siak Sri Indrapura salah satunya, satu yang saya tahu.
Kesultanan Siak Sri Indrapura atau lebih sering disebut Kesultanan Siak saja berada di propinsi Riau. Didirikan pada pertengahan abad ke-18 oleh seorang putra kerajaan Pagaruyung, Kesultanan Siak menjadi salah satu kerajaan yang disegani di kawayan melayu Sumatra hingga Malaysia.

Sudah banyak sungai dunia yang membentuk peradabannya. Sungai Nil yang mengingatkan kita pada Musa, Firaun, Piramida sampai Cleoptra. Eufrat dan Tigris dengan Mesopotapianya. Sungai Gangga dengan Mohenjodaronya. Serta Bengawan Solo dengan Phitecantrophus Erectus. Begitu pula kesultanan Siak yang lahir dari aliran Sungai Siak. Sungai yang kabarnya merupakan sungai terdalam se-Asia Tenggara.

Berada tepat di tepi sungai, kesultanan Siak leluasa untuk bepergian dan berkomunikasi dengan kerajaan-kerajaan lain. Dibanding jejak fisik, Kesultanan Siak lebih banyak meninggalkan sejarah politik dan sosialnya di kawasan melayu Riau. Meski begitu, peninggalan yang ada cukup menggambarkan kita betapa besar dan agungnya Siak dahulu. Dan semua peninggalannya dapat kita jumpai di kota Siak Sri Indrapura, ibukota kabupaten Siak, propinsi Riau.

Beberapa peninggalannya adalah Istana kerajaan berlantai dua yang di dalamnya terdapat segala sesuatu yang pernah dimiliki dan dipakai keluarga kerajaan, beberapa makam sultan-sultan terdahulu, masjid raya kerajaan, balai adat. Terakhir adalah kapal yang digunakan keluarga untuk bepergian, karena dahulu transportasi menuju Siak hanya melalui sungai.
Di dalam istana, kita akan tahu bahwa hubungan baik Kesultanan Siak tidak hanya terjalin di kawasan melayu saja, namun juga ke beberapa negara di Eropa. Ini bisa kita lihat dari barang-barang yang tidak akan dijumpai di daerah sekitarnya. Selain membeli banyak perabot rumah tangga dari Tiongkok dan Eropa, tidak sedikit yang merupakan pemberian atau kenang-kenangan dari teman, kenalan, atau handai taulan dari eropa. Satu yang menarik perhatian saya adalah Komet, sebuah gramophon besar dari Jerman. Kabarnya, saat ini piringan besar yang mampu mengalunkan melodi-melodi Mozart, Bethoven, dan musisi besar lainnya itu hanya tersisa dua. Satu di Jerman dan satu terpajang di salah satu sisi Istana Siak.


Beberapa peninggalannya pun dapat dijumpai di Ibukota propinsi Riau, Pekanbaru. Adanya Pekan juga tidak lepas dari peran Kesultanan Siak. Atas peran raja-raja Siak terdahululah lahir sebuah kota yang dahulu hanya sebauh kampung. Sebelum seperti sekarang ini, sebenarnya Pekanbaru hanya sebuah distrik kecil bagian dari Kesultanan Siak. Namun karena lokasinya yang strategis, pekanbaru tumbuh jauh lebih pesat dari kota Siak itu sendiri.

Sebagai ibukota kabupaten, saya tidak tahu apakah Siak layak di sebut kota. Pasalnya, luasnya hanya sekitar 2000 x 500 meter saja. Tidak ada rumah atau bangunan melebihi 2 lantai. Kalaupun ada hanya satu dua saja. Rumah penduduknya pun masih berdinding papan. Sebagian rumah malah masih mempertahankan rumah adat mereka, rumah panggung yang juga berlantaikan papan, termasuk kantor bupatinya. Kebanyakan penduduk adalah melayu Islam dan beberapa pendatang dari Tionghoa. Masyarakat Siak memang dikenal sederhana. satu-satunya yang terlihat megah adalah Istana peninggalan kerajaan berlantai dua. Siapa sangka dulu pernah ada pusat peradaban melayu Riau di sini. Siapa sangka kini Siak menjadi ibukota kabupaten terkaya nomor tiga di Indonesia.

Setelah membentuk kabupaten sendiri, Siak memang terus berbenah. Pembangunan terjadi di mana-mana. Kota Siak diremajakan, kantor-kantor pemerintahan dibangun, akses darat dipermudah. Salah satunya pembangunan yang cukup megah adalah Jembatan Sultanah Latifah yang diresmikan Presiden SBY beberapa waktu lalu. Satu-satunya jembatan yang menghubungkan Siak dengan dunia luar, karena sebelumnya hanya anda harus menggunakan kapal fery untuk sampai ke Siak atau speedboot dengan menyusuri sungai Siak jika menggunakan jalur air dari Pekanbaru.

Satu hal yang disayangkan dari kesultanan ini adalah tidak adanya penerus kerajaan yang terakhir diisi oleh Sultan Syarif Kasyim II. Karena tidak memiliki seorangpun putra putri, raja terakhir itupun menyerahkan seluruh kekayaannya kepada negara. Andai masih ada keturunan sang raja, mungkin kini Riau memiliki seseorang semacam Hamengkubuwono.



NB: maaf kalo gambarnya kurang memadai….hanya ada kamera seadanya.