Ada ratusan kerajaan di Indonesia. Menyebar dari Bumi Aceh hingga pedalaman papua. Semuanya telah ada sejak bangsa belum merdeka dan semuanya memiliki peran dalam melawan kolonial. Sebagian dari mereka masih eksis dan terus mewarisi tradisi budayanya di tengah perkembangan zaman. Sebagian yang banyak dikenal tentu saja kesultanan Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon. Namun ternyata ada juga kerajaan yang tidak mampu meneruskan tahtanya dengan sebab tertentu. Kesultanan Siak Sri Indrapura salah satunya, satu yang saya tahu.
Kesultanan Siak Sri Indrapura atau lebih sering disebut Kesultanan Siak saja berada di propinsi Riau. Didirikan pada pertengahan abad ke-18 oleh seorang putra kerajaan Pagaruyung, Kesultanan Siak menjadi salah satu kerajaan yang disegani di kawayan melayu Sumatra hingga Malaysia.
Sudah banyak sungai dunia yang membentuk peradabannya. Sungai Nil yang mengingatkan kita pada Musa, Firaun, Piramida sampai Cleoptra. Eufrat dan Tigris dengan Mesopotapianya. Sungai Gangga dengan Mohenjodaronya. Serta Bengawan Solo dengan Phitecantrophus Erectus. Begitu pula kesultanan Siak yang lahir dari aliran Sungai Siak. Sungai yang kabarnya merupakan sungai terdalam se-Asia Tenggara.
Berada tepat di tepi sungai, kesultanan Siak leluasa untuk bepergian dan berkomunikasi dengan kerajaan-kerajaan lain. Dibanding jejak fisik, Kesultanan Siak lebih banyak meninggalkan sejarah politik dan sosialnya di kawasan melayu Riau. Meski begitu, peninggalan yang ada cukup menggambarkan kita betapa besar dan agungnya Siak dahulu. Dan semua peninggalannya dapat kita jumpai di kota Siak Sri Indrapura, ibukota kabupaten Siak, propinsi Riau.
Beberapa peninggalannya adalah Istana kerajaan berlantai dua yang di dalamnya terdapat segala sesuatu yang pernah dimiliki dan dipakai keluarga kerajaan, beberapa makam sultan-sultan terdahulu, masjid raya kerajaan, balai adat. Terakhir adalah kapal yang digunakan keluarga untuk bepergian, karena dahulu transportasi menuju Siak hanya melalui sungai.
Di dalam istana, kita akan tahu bahwa hubungan baik Kesultanan Siak tidak hanya terjalin di kawasan melayu saja, namun juga ke beberapa negara di Eropa. Ini bisa kita lihat dari barang-barang yang tidak akan dijumpai di daerah sekitarnya. Selain membeli banyak perabot rumah tangga dari Tiongkok dan Eropa, tidak sedikit yang merupakan pemberian atau kenang-kenangan dari teman, kenalan, atau handai taulan dari eropa. Satu yang menarik perhatian saya adalah Komet, sebuah gramophon besar dari Jerman. Kabarnya, saat ini piringan besar yang mampu mengalunkan melodi-melodi Mozart, Bethoven, dan musisi besar lainnya itu hanya tersisa dua. Satu di Jerman dan satu terpajang di salah satu sisi Istana Siak.
Beberapa peninggalannya pun dapat dijumpai di Ibukota propinsi Riau, Pekanbaru. Adanya Pekan juga tidak lepas dari peran Kesultanan Siak. Atas peran raja-raja Siak terdahululah lahir sebuah kota yang dahulu hanya sebauh kampung. Sebelum seperti sekarang ini, sebenarnya Pekanbaru hanya sebuah distrik kecil bagian dari Kesultanan Siak. Namun karena lokasinya yang strategis, pekanbaru tumbuh jauh lebih pesat dari kota Siak itu sendiri.
Sebagai ibukota kabupaten, saya tidak tahu apakah Siak layak di sebut kota. Pasalnya, luasnya hanya sekitar 2000 x 500 meter saja. Tidak ada rumah atau bangunan melebihi 2 lantai. Kalaupun ada hanya satu dua saja. Rumah penduduknya pun masih berdinding papan. Sebagian rumah malah masih mempertahankan rumah adat mereka, rumah panggung yang juga berlantaikan papan, termasuk kantor bupatinya. Kebanyakan penduduk adalah melayu Islam dan beberapa pendatang dari Tionghoa. Masyarakat Siak memang dikenal sederhana. satu-satunya yang terlihat megah adalah Istana peninggalan kerajaan berlantai dua. Siapa sangka dulu pernah ada pusat peradaban melayu Riau di sini. Siapa sangka kini Siak menjadi ibukota kabupaten terkaya nomor tiga di Indonesia.
Setelah membentuk kabupaten sendiri, Siak memang terus berbenah. Pembangunan terjadi di mana-mana. Kota Siak diremajakan, kantor-kantor pemerintahan dibangun, akses darat dipermudah. Salah satunya pembangunan yang cukup megah adalah Jembatan Sultanah Latifah yang diresmikan Presiden SBY beberapa waktu lalu. Satu-satunya jembatan yang menghubungkan Siak dengan dunia luar, karena sebelumnya hanya anda harus menggunakan kapal fery untuk sampai ke Siak atau speedboot dengan menyusuri sungai Siak jika menggunakan jalur air dari Pekanbaru.
Satu hal yang disayangkan dari kesultanan ini adalah tidak adanya penerus kerajaan yang terakhir diisi oleh Sultan Syarif Kasyim II. Karena tidak memiliki seorangpun putra putri, raja terakhir itupun menyerahkan seluruh kekayaannya kepada negara. Andai masih ada keturunan sang raja, mungkin kini Riau memiliki seseorang semacam Hamengkubuwono.
NB: maaf kalo gambarnya kurang memadai….hanya ada kamera seadanya.
Kamis, 20 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar