Begitu kata Pak Radi dengan logat maduranya yang khas. Saat baru saja beristri, Pak Radi memutuskan merantau ke Sempol meninggalkan kampungnya di Sumenep. Kini Pak Radi telah memiliki empat orang anak dan hampir memiliki cucu. Seperti kebanyakan warga Sempol, Pak Radi dan istrinya juga bekerja pada perkebunan kopi. Sebagai pemetik biji kopi yang kemudian diolah, dikemas, dan kita kenal sebagai kopi Arabika. Di rumah Pak Radi inilah kami bermalam. Istirahat dan mengumpulkan tenaga untuk menaklukkan Kawah Ijen keesokan harinya.
Berangkat pukul tujuh pagi dari Surabaya, kami baru sampai di sempol beberapa saat sebelum maghrib. Normalnya, perjalanan dapat ditempuh sekitar 6-7 jam dengan rute Surabaya-Probolinggo-Besuki-Bondowoso-Sukosari-Sempol. Apa mau dikata, keadaan berkata lain. Satu kali ban bocor, satu kali pecah ban, dua kali istirahat, dan lebih dari satu jam menunggu hujan reda membuat waktu kami banyak terbuang. Belum lagi parahnya kondisi jalan Bondowoso-Sempol yang membuat kami tertatih menuju tujuan. Tapi semua terbayar.
Sempol adalah salah satu kecamatan di Bondowoso meski luas dan lingkungannya lebih mirip sebuah desa. Penduduk Sempol di dominasi oleh Jawa dan Madura dengan perbandingan lebih besar pendatang dari Madura. Hampir semuanya bekerja pada perkebunan kopi Arabika. Inilah desa terdekat dari Kawah Ijen. Meski begitu, seperti Pak Radi, sebagian besar penduduk tidak pernah sekalipun ke Kawah Ijen. Inilah desa tempat film King dibuat. Meski demikian, tidak ada warga Sempol yang pernah melihat film King.
Inilah kata-kata yang sering kami lantunkan sepanjang perjalanan sejauh 3,2 km dari paltuding menuju kawah. Piano adalah bahasa Italia yang berarti pelan-pelan. Sebenarnya menyebutnya cukup sekali, tapi karena kami biasa menyebut “pelan-pelan”, jadinya kami sebut saja “piano-piano”. Seorang Itali yang bersama kami berkata, “piano-piano…hemmm, slowly-slowly!” itu berarti pelan-pelan-pelan-pelan. Hehee…..tak apalah.
Teman kami sepanjang perjalanan memang banyak dari Italia. Ada beberapa rombongan yang ditemani oleh tour guide-nya masing-masing. Tour guide yang juga penerjemah inilah yang membantu kami berkomunikasi dengan turis Italia. No English….tidak Indonesia, Italiano…piano-piano! Pembicaraannya tentu saja tak pernah jauh dari Valentino Rossi, Silvio Berlusconi, Fransesco Totti, Del Piero,dan espulso, serta tentu saja……Mamma Mia!
Jarak 3,2 km memang tidak seberapa dibanding Lawu. Medannya pun tak seberat Lawu. Tapi tetap saja ngos-ngosan….(maklum sejak pulang kurang olahraga). Sebenarnya jalurnya sih asyik-asyik aja. Jalan tanah dengan lebar yang lumayan dan kelandaian yang tidak terlalu curam. Kiri kanan hutan dengan pohon-pohon sebangsa akasia berdaun kecil (kalo gak salah). Adem aja rasanya selama perjalanan. Mantapnya lagi, terdapat penanda tiap seratus meter. Jadi kita tahu berapa jauh kita berjalan dan seberapa jauh lagi tujuan kita.
“Subhanallah………”
Kamera pun beraksi dan narsisme mulai menjangkiti
Sayang, oleh sebab asap tebal belerang…hanya dua orang dari kami yang turun ke kawah. Menapaki jalur sempit berbatu…..berpapasan dengan para pemikul…….melawan asap yang kian pekat. Harus ada yang turun.