UAS hampir menjelang. Tugas semakin meradang. Belum lagi kegiatan di luar itu semua. Ditambah proposal yang jalan di tempat. Semester ini waktu dan pikiran terkuras pada proposal. Seperti stagnan setelah mencapai metodologi. Bukan tidak selesai, hanya terlalu memikirkan bagaimana mengakali mendapatkan 3 kali 46 surveyor untuk tugas akhir nanti. Secara umum metodelogi selesai. Hanya masih ingin memikirkan saja mengakali jumlah itu. Dan Nasi Lodho mampu mencerahkan semua.
Tidak seperti biasanya, kali ini hanya jalan sendiri. Sengaja tidak membawa Ali yang sedang dalam proses penyembuhan dan berjuang dengan Bangunan Air, Jembatan, Kerja Praktek, dan juga proposalnya. So, berangkatlah ke Trenggalek sebelum Shubuh hari itu.
Dan rencana Tuhan pun berjalan hari itu. Saat Rapih Dhoho bergerak, ada juga teman seperjalanan meski hanya sampai Kertosono. Alif dari Teknik Mesin. Kawan berdiri dalam sempit dan hujan. Kami sama-sama tidak memperhitungkan bahwa hari itu adalah hari libur. Tanggal di kalender berwarna merah dengan keterangan Waisak. Jangankan tempat duduk, gerbong pun serasa tak dapat. Mau tidak mau tapi suka-suka saja, kami pun berdiri persis di pintu gerbong. Tidak hanya itu, perjalanan pagi itu meski ditambah bapak-bapak yang memaksa naik dari Wonokromo. Sempit berdesakan rapat dan tak bisa bergerak. Tanpa berpegangan pun saya yang agak ke dalam pun berdiri tak tergoyahkan. Tangan pun kaku tak bergerak. Dan hujan pun turun dengan derasnya. Beruntung saya tidak persis di pinggir pintu.
Tidak ada kereta ke Trenggalek. Saya pun mesti turun di Tulungagung. Dan pagi itu, olahraga saya adalah berdiri dari Surabaya-Tulungagung. Sebelumnya, sempat bertemu Labib secara tidak sengaja di gerbong. Sayang dirinya tidak mau diikuti. Tidak mau rumahnya dikunjungi. Tidak mau saya bersamanya di Trenggalek. Sebenarnya sudah sejak lama Labib seperti itu. Apa alasannya? Wallahualam……..dan saya pun harus sendiri di Trenggalek.
Jika ada yang sudah pernah ke Prigi atau Karanggoso. Tidak sulit untuk menempuh perjalanan ke Bandung. Dari Tulungagung, naik saja bis tigaperempat dan turun di Durenan, tepatnya persimpangan ke arah Prigi. Dari situ, tingal naik mobil penumpang L-300 arah ke Prigi. Turun saja di pasar Bandung….dan nasi Lodho pun bertebaran di mana-mana. Hanya saja, Nasi Lodho yang pernah membuat saya ketagihan dan ngidam adalah Nasi Lodho di warung yang letaknya persis setelah jembatan di Barat pasar. Pertama kali ke warung itu saat rihlah bersama temen-temen PPSDMS di Karanggoso. Dua porsi dihabiskan waktu itu.
Kondisinya masih sama, penjualnya juga masi sama. Seorang ibu dan mungkin nenek berusia sekitar 60-an. Dan tentu saja….rasanya masih sama. Maknyuuuuusssssssss. Gurih, harum, dan bumbunya begitu menusuk. Yang tak kalah penting adalah………….pedassssssssssssssss.
Mungkin karena sendiri, tidak ada nuansa persaingan untuk berebut. Hanya satu porsi saya habiskan. Bersama es jeruk dan kerupuk blek yang entah berapa saya habiskan. Tidak sarapan pagi, berdiri 5 jam, dan berpanasan di Bandung terbayar sudah. Setimpal. Belum lagi alam Bandung yang tak jelek-jelak amat. Inspirasi proposal di depan mata. Saya juga tidak tahu kenapa.
Next………tentu saja pulang.
Tujuan saya hari itu memang makan Nasi Lodho. Ke Bandung memang hanya untuk makan Nasi Lodho. Teman di rumah pernah tidak percaya saat bertanya ngapain ke Trenggalek. Saya juga tidak percaya, tapi begitulah yang terjadi. Mungkin karena pengen aja pergi dari Surabaya.
Agar lebih seru, pulangnya lewat jalur yang berbeda. Ke Trenggalek dulu untuk cari bis ke Malang melalui Blitar. Kenapa tidak ke Tulungagung saja? Kareka ingin sekalian melihat-lihat jalur Tulungagung-Trenggalek plus kondisi terminal Trenggalek. Dasar orang transport. Tapi saat di Trenggalek, saya malah terkesan dengan alamnya yang mirip Pacitan. Dari terminal saja, sudah keren abis. Dikelilingi gunung meski tak semegah Pacitan.
Dan Malang mempertemukan saya dengan kuliner favorit berikutnya. Sambil menunggu Penataran tujuan Stasiun Gubeng, saya makan nasi padang malam itu. Dengan alasan menghangatkan badan dengan rendang karena hujan sedari sore. Dan disinilah saya temukan semur jengkol itu……………
Setelah bertahun-tahun akhirnya saya kembali menikmatinya.
Dan saya pun ikhlas ketika harus berdiri lagi saat kembali ke Surabaya malam itu.
Andai saja kedua kuliner itu berada pada satu warung………………(Nasi Lodho plus Semur Jengkol)…………akan menjadi menu lezat tentunya.
NB: karena memakai moda kendaraan umum, objek foto pun menjadi tidak maksimal