Sabtu, 07 November 2009

Ali Holiday

Teks: Emal
Foto: Ali and friends


Bersimpuh Rukkeleng Mpoba:
“….Alangkah baiknya Tuanku menurunkan seorang keturunan, untuk menjelma di muka bumi. Agar dunia tak lagi kosong melompong, dan terang benderang paras dunia. Engkau bukanlah Dewata selama tak satu manusia pun di kolong langit, di permukaan pertiwi, menegaskan Sri Paduka sebagai Batara”. (Penggalan naskah La Galigo, mitologi Bugis).

Diyakini, lokasi tempat Batara Guru menginjakkan kaki pertama kali di bumi terletak di Luwu sekarang ini. Bagi masyarakat Luwu, ikon Batara Guru sebagai manusia pertama dipercaya merupakan sosok pemimpin utama di Tana Luwu. Posisi peran sentralnya itu kemudian mengalirkan nilai-nilai luhur, falsafah hidup, dan wawasan kearifan. Termasuk bagaimana masyarakat Luwu memelihara kelestaraian alamnya. Dan Soroako, adalah satu titik kecil di Tana Luwu yang juga memiliki keindahan alam di sekitarnya.
Tidak banyak orang mengenal Soroako. Mengenal Soroako, tidak banyak orang tahu di mana Soroako. Soroako memang tidak segemerlap Kuta, Jogja, atau Samosir. Soroako juga tidak sementereng Tana Toraja, Kutai Kartanegara, atau Banda Naira sekalipun. Tapi tidak bagi para pelaku industri tambang, fotografer, dan pencinta diving.
Soroako terletak di Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kota kecil yang baru saja naik pangkat dari sebuah desa ini terletak sekitar 600 kilometer di Utara kota Makassar. Kalau ingin mencari di peta, cari saja danau Matano. Secara geografis, Soroako memang terletak di bibir danau terbesar kedua di Sulsel tersebut. Ditambah keberadannya di lereng pegunungan Verbeek, menjadikan Soroako kota kecil yang indah dan berlimpah akan nikel.
Tidak bisa dipungkiri, sejak kedatangan PT INCO yang mengeksplorasi nikel di Pegunungan Verbeek, Soroako tidak hanya menjadi lebih dikenal. Soraoko juga menjadi lebih ramai, lebih hidup, dan tentu saja lebih sejahtera. Keindahannya menyulut para fotografrer untuk datang. Keramahannya mengundang banyak artis untuk singgah. Dan Soroako pun menjadi lebih di kenal.
Keberadaan industri tak membuat Soroako berubah secara culture maupun nature. Jika beruntung, pada saat tertentu kita dapat menyaksikan Meopudi, sebuah upacara menangkap ikan Opudi di danau Matano atau pesta panen Padungku. Keduanya adalah pesta adat yang masih bertahan hingga kini.

Secara alam, tentu saja Soroako memiliki danau Matano. Danau berusia sekitar empat juta tahun ini memiliki kedalaman 594 meter. Membuatnya menjadi danau terdalam di Asia Tenggara dan nomor delapan di dunia. Fakta lainnya, dengan ketinggian permukaan 385 mdpl, berarti dasar danau berada 200 meter di bawah permukaan laut. Bentukan alam yang langka bukan. Memiliki ikan-ikan endemis serta bebeberapa flora fauna yang menjadi ciri khas Sulawesi, membuat sejumlah pakar ekologi merekomendasikan Danau Matano menjadi salah satu world heritage dan biodiversity hotspot yang harus dijaga kelestariannya.


Meski tidak begitu jelas menunjukkan bagaimana keindahan Soroako, semoga foto-foto ini cukup menggugah untuk menjadikan Soroako destinasi selanjutnya. Kalo saya, PASTI! InsyaAllah.


Aktivitas liburan di danau Matano........










Jalan-jalan di lapangan golf......ehmm asyik juga







Menyempatkan diri ke Sulawesi Tenggara




Bersama teman-teman se-Soroako yang telah menyebar, kuliah di mana-mana. Begini nih kalo ngumpul lagi.

Bubur Manado ini sepertinya enak juga.....!??




Ali: Seorang mahasiswa Teknik Sipil ITS yang gemar traveling. Pemuda single (beneran ya jomblo?) ini tinggal di Soroako sejak kecil. Kegemaran lain dari pengikut faham narsisme ini adalah fotografi. Meski pemula dan tidak tahu apa-apa tentang dunia digital, hasil jepretannya tidak kalah dengan fotografer profesional. Kedua hobinya tersebut telah membuatnya banyak menapakkan kaki di banyak tempat di Jawa Timur dan sekitarnya. Oh iya, nama lengkapnya Zadly Andi Pangnguriseng, tanpa kesalahan dan kelebihan penulisan huruf.

Senin, 02 November 2009

Jalan-jalan Bareng Etoser

Hutannya lebat. Sedikit gelap dan agak menakutkan. Tepat di pesisir Laut Kidul. Sama dengan hutan tropis lainnya, rasa lembab kental terasa. Sesekali desiran ombak yang menabrak karang terdengar. Namun lebih banyak suara-suara tak dikenal lainnya jauh dari pedalaman hutan. Pohon bergoyang dan gemerisik dedaunan kami anggap biasa. Kami coba untuk menganggapnya biasa. Kalau tidak monyet ekor panjang, mungkin monyet ekor pendek, atau jenis monyet lainnya. Tidak ada spekulasi lebih dari itu. Satu-satunya harapan kami hanyalah jalan seukuran mobil yang katanya dapat membawa kami ke tujuan. Jalan rusak super parah yang mau tidak mau dan suka tidak suka harus kami lalui. Tidak ada kata kembali. Karena menyerah berarti rugi.

Inilah perjalanan kami menuju Sukamade. Sebuah pantai yang dikenal degan penangkaran tukik, anak penyu. Perjalanan yang direncanakan namun salah perkiraan. Perjalanan melewati perkampungan, sawah, ladang, perkebunan, kali, dan tentu saja hutan lebat di mana tidak akan ada orang yang mendengarmu berteriak. Ya, kami melalui Taman Nasional Meru Betiri. Masih alami, tapi menurut salah satu teman kami, terlalu alami. “Ini bukan alami lagi, tapi kealamian!”


Bersama Mas Agus, Pria Bangkalan penjaga pos Meru Betiri di Rajegwesi. Sesaat sebelum menyusuri hutan sejauh 18 km

Dua hari waktu yang kami punya untuk menjelajah apa saja yang bisa disinggahi di Banyuwangi Selatan. Bermodalkan dua awak penghuni asli Banyuwangi Selatan, setidaknya akan ada 3 pantai dan satu air terjun yang menjadi destinasi kami. Namun jalan yang digariskan berkata lain. Sukamade, salah satu potret wisata Indonesia.

Bagaimana wisata Indonesia akan maju, sarana prasarananya saja tidak digugu. Terkadang inilah yang kami sayangkan di beberapa tempat. Jalan yang rusak dan prasarana yang tidak memadai. Namun sepertinya itulah yang menjadi ciri khas kita. Ada perjuangan menuju tujuan. Asal terbayar dengan keindahan dan kepuasan, sesulit apapun perjalanan akan kami lawan. Setidaknya begitulah kami memandang wisata negeri ini. Sebuah alasan yang kami terima, untuk kami sendiri.

Sebelum rimba, jalan sudah mulai parah. Penumpang harap turun...heheee


Laut Selatan dari rimba Meru Betiri. Hiburan kami dalam hutan


Mau tidak mau. Hanya satu jalan ke Sukamade, dan harus menyebrangi sunagi ini


Hampir 60 km dari Jajag, sebuah kota kecil di jalan lintas Jember-Banyuwangi. Dan hampir 4 jam kami habiskan waktu diperjalanan menuju Sukamade. Dengan jalan 30 persen rusak berat dan 50 persen rusak ringan. 40 persen hutan lebat, 40 persen perkebunan, serta sisanya sawah dan pemukiman. Hasilnya, CUKUP memuaskan dengan 3 kilometer pantai pasir putih beserta satu pemancing lokal. Sedikit menikmati keganasan pantai selatan dan berteduh di bawah batu karang. Berusaha membuat cukup memuaskan menjadi terbayar.


Proses penetasan telur penyu di penangkaran Sukamade




Sukamade.......

Sayangnya kami tidak bermalam. Tidak bisa melihat penyu bertelur. Tukik pun belum menetas untuk kami lepaskan. Dan rencana ke dua pantai lainnya gagal total. Karena hampir satu hari kami habiskan waktu di perjalanan,yang untungnya terbayar lunas saat kami singgah sejenak di Rajegwesi. Pantai yang juga tidak biasa 20 kilometer sebelum Sukamade. Tidak direncanakan namun mengesankan. Ya, dalam perjalanan siapa yang tahu kita akan mendapat apa.

Bersama Pak Slamet, salah satu penajga penangkaran


Sunset di Rajegwesi


Tidak ingin terulang lagi, hari kedua kami tidak lagi berspekulasi. Mengunjungi seadanya saja. Karena sore nanti kami butuh tenaga untuk kembali ke Surabaya. Awalnya hanya akan ke air terjun lokal yang namanya saja kami tidak tahu. Namun Emal paksa melihat-lihat terowongan kereta di daerah Kalibaru. Sampai terowongan, Emal paksa menyusurinya hingga ujung. Teringat hari pertama, ternyata untuk ke Sukamade juga harus dipaksa saat akan menyerah di Rajegwesi.

“Tanggung nih udah setengah jalan, masa iya sudah sampai sini balik lagi!” kata Emal sebagai senjata pertama.
“Kalau tidak mau, aku jalan sendiri! Kalian tunggu di sini atau kembali duluan!” senjata kedua jika yang pertama tidak mempan. Dan keduanya ampuh untuk para etoser yang lumayan gila jalan-jalan tapi sedikit kurang mendapat tantangan.



Terowongan kedua pada jalur Jember-Banyuwangi, 700 meter


Air terjun Entah Apa Namanya, di atasnya kami mandi setelahnya

Terimakasih kepada para etoser 05 yang telah mengajak Emal dalam perjalanan kalian. Tidak ubahnya perjalanan lainnya, selalu ada yang berkesan. Dan kali ini, akhirnya merasakan bagaimana buang air besar di toilet yang hanya menutupi setengah badan. Anda jongkok maka hanya kepala anda yang terlihat. Bagusnya, tidak akan ada yang pernah sudi melihat anda. Tidak disangka kami benar-benar di desa. Juga mandi di kali untuk pertama kali. Membuang segala kotoran yang ada di badan, yang mana kali tersebut mengalir terus sampai air terjun yang kami singgahi. hahaaaaaa

tengkiyu etoser