Selasa, 12 Mei 2009

Nikmatnya Lodho Bandung

Setelah beberapa lama tak meninggalkan Surabaya, Sabtu (9/5) kemarin akhirnya jadi juga rencana bernostalgia dengan salah satu kuliner favorit. Setelah sekian lama memendam ngidam tak tertahankan, akhirnya terpuaskan juga hari itu. Makan Nasi Lodho di tempat favorit, Bandung.

UAS hampir menjelang. Tugas semakin meradang. Belum lagi kegiatan di luar itu semua. Ditambah proposal yang jalan di tempat. Semester ini waktu dan pikiran terkuras pada proposal. Seperti stagnan setelah mencapai metodologi. Bukan tidak selesai, hanya terlalu memikirkan bagaimana mengakali mendapatkan 3 kali 46 surveyor untuk tugas akhir nanti. Secara umum metodelogi selesai. Hanya masih ingin memikirkan saja mengakali jumlah itu. Dan Nasi Lodho mampu mencerahkan semua.

Tidak seperti biasanya, kali ini hanya jalan sendiri. Sengaja tidak membawa Ali yang sedang dalam proses penyembuhan dan berjuang dengan Bangunan Air, Jembatan, Kerja Praktek, dan juga proposalnya. So, berangkatlah ke Trenggalek sebelum Shubuh hari itu.

Bersama Alif berdiri di pintu gerbong


Dan rencana Tuhan pun berjalan hari itu. Saat Rapih Dhoho bergerak, ada juga teman seperjalanan meski hanya sampai Kertosono. Alif dari Teknik Mesin. Kawan berdiri dalam sempit dan hujan. Kami sama-sama tidak memperhitungkan bahwa hari itu adalah hari libur. Tanggal di kalender berwarna merah dengan keterangan Waisak. Jangankan tempat duduk, gerbong pun serasa tak dapat. Mau tidak mau tapi suka-suka saja, kami pun berdiri persis di pintu gerbong. Tidak hanya itu, perjalanan pagi itu meski ditambah bapak-bapak yang memaksa naik dari Wonokromo. Sempit berdesakan rapat dan tak bisa bergerak. Tanpa berpegangan pun saya yang agak ke dalam pun berdiri tak tergoyahkan. Tangan pun kaku tak bergerak. Dan hujan pun turun dengan derasnya. Beruntung saya tidak persis di pinggir pintu.

selepas dari Stasiun Kertosono


Stasiun antara Kertosono-Kediri....bunganya mesra


Tidak ada kereta ke Trenggalek. Saya pun mesti turun di Tulungagung. Dan pagi itu, olahraga saya adalah berdiri dari Surabaya-Tulungagung. Sebelumnya, sempat bertemu Labib secara tidak sengaja di gerbong. Sayang dirinya tidak mau diikuti. Tidak mau rumahnya dikunjungi. Tidak mau saya bersamanya di Trenggalek. Sebenarnya sudah sejak lama Labib seperti itu. Apa alasannya? Wallahualam……..dan saya pun harus sendiri di Trenggalek.

Jika ada yang sudah pernah ke Prigi atau Karanggoso. Tidak sulit untuk menempuh perjalanan ke Bandung. Dari Tulungagung, naik saja bis tigaperempat dan turun di Durenan, tepatnya persimpangan ke arah Prigi. Dari situ, tingal naik mobil penumpang L-300 arah ke Prigi. Turun saja di pasar Bandung….dan nasi Lodho pun bertebaran di mana-mana. Hanya saja, Nasi Lodho yang pernah membuat saya ketagihan dan ngidam adalah Nasi Lodho di warung yang letaknya persis setelah jembatan di Barat pasar. Pertama kali ke warung itu saat rihlah bersama temen-temen PPSDMS di Karanggoso. Dua porsi dihabiskan waktu itu.

Kondisinya masih sama, penjualnya juga masi sama. Seorang ibu dan mungkin nenek berusia sekitar 60-an. Dan tentu saja….rasanya masih sama. Maknyuuuuusssssssss. Gurih, harum, dan bumbunya begitu menusuk. Yang tak kalah penting adalah………….pedassssssssssssssss.

sederhana tapi bercita rasa


Mungkin karena sendiri, tidak ada nuansa persaingan untuk berebut. Hanya satu porsi saya habiskan. Bersama es jeruk dan kerupuk blek yang entah berapa saya habiskan. Tidak sarapan pagi, berdiri 5 jam, dan berpanasan di Bandung terbayar sudah. Setimpal. Belum lagi alam Bandung yang tak jelek-jelak amat. Inspirasi proposal di depan mata. Saya juga tidak tahu kenapa.

di depan warung anda dapat melihat yang seperti ini....


Next………tentu saja pulang.

Tujuan saya hari itu memang makan Nasi Lodho. Ke Bandung memang hanya untuk makan Nasi Lodho. Teman di rumah pernah tidak percaya saat bertanya ngapain ke Trenggalek. Saya juga tidak percaya, tapi begitulah yang terjadi. Mungkin karena pengen aja pergi dari Surabaya.

Agar lebih seru, pulangnya lewat jalur yang berbeda. Ke Trenggalek dulu untuk cari bis ke Malang melalui Blitar. Kenapa tidak ke Tulungagung saja? Kareka ingin sekalian melihat-lihat jalur Tulungagung-Trenggalek plus kondisi terminal Trenggalek. Dasar orang transport. Tapi saat di Trenggalek, saya malah terkesan dengan alamnya yang mirip Pacitan. Dari terminal saja, sudah keren abis. Dikelilingi gunung meski tak semegah Pacitan.

Terminal Trenggalek dengan latar pegunungannya



Perjalanan menuju Malang juga tak kalah seru. Geometrik jalannya memang tak seelok Batu-Kediri. Tapi jalur selatan memang memiliki kekhasannya sendiri. Trip berikutnya pun sudah ada di depan mata. Banyak lembah dan gunung, memunculkan banyak jembatan eksotis baik jembatan kereta maupun mobil. Belum lagi dua terowongan kereta yang terkenal itu. Oke…next trip deh…

jembatan kuno tapi unik yang saya temukan di Trenggalek


Dan Malang mempertemukan saya dengan kuliner favorit berikutnya. Sambil menunggu Penataran tujuan Stasiun Gubeng, saya makan nasi padang malam itu. Dengan alasan menghangatkan badan dengan rendang karena hujan sedari sore. Dan disinilah saya temukan semur jengkol itu……………
Setelah bertahun-tahun akhirnya saya kembali menikmatinya.
Dan saya pun ikhlas ketika harus berdiri lagi saat kembali ke Surabaya malam itu.

hampir dua tahun tidak makan semur jengkol....hemmmm


Andai saja kedua kuliner itu berada pada satu warung………………(Nasi Lodho plus Semur Jengkol)…………akan menjadi menu lezat tentunya.




NB: karena memakai moda kendaraan umum, objek foto pun menjadi tidak maksimal

Sabtu, 02 Mei 2009

Hidayah & Hafizah


Kamis pagi, pesewat itu telah landing dengan sempurna di Juanda. Air Asia yang membawa penumpang dari Malaysia. Negeri seberang tetangga Indonesia. Beberapa saat kemudian, tampak dua orang perempuan keluar dari terminal kedatangan. Sambil menarik kopernya masing-masing, mereka melihat sekeliling tak berhenti. Mencari seseorang. Tak jumpa, salah satu dari mereka mengeluarkan ponselnya yang telah menggunakan kartu Indonesia. Berkali-kali dicobanya menghubungi seseorang dari ponselnya. Tak juga ada jawaban. Mereka pun semakin bingung.

Teman Indonesia mereka sepertinya tak menjemput. Dihubungi pun tak dapat. Mereka pesanlah taksi menuju salah satu hotel di kawasan Tunjungan. Mereka bekerja di Malaysia, lulus S1 beberapa tahun lalu. Ini adalah perjalanan pertamanya ke Indonesia, first time. Temannya yang tak menjemut tadi adalah warga Surabaya yang bekerja di Malaysia. Inilah mengapa mereka ke Surabaya. Pertama kali mereka ke Indonesia mereka memilih Surabaya, bukan Jakarta, bukan Bandung yang lebih dikenal di Malaysia, bukan pula Bali. Tapi Surabaya.

Setelah check-in mereka coba melihat-lihat Surabaya di areal sekitar hotel. Mungkin mereka paham bahwa hari pertama di tempat baru harus sudah mengetahui lingkungan sekitar. Sekitar Tunjungan dan Basuki Rahmat mereka lahap. Saat ingin ke sebrang, mereka gunakan jembatan penyebrangan. Belum lagi menghabiskan tangga naik, mereka telah kami hentikan untuk mengisi kuisioner Tugas Akhir salah satu teman kami. “Oh maaf, kami orang Malaysia. Tak apekah kami isi ini?”
Inilah awal perjumpaan kami dengan mereka. Mereka yang juga senang jalan-jalan. Traveler from Malaysia.

Nor Hidayah Daud


Nor Hafizah Ramlan


Tidak begitu ingat apakah kami yang menawarkan atau mereka yang meminta. Mungkin juga kami setengah menawarkan dan mereka setengah meminta. Namun akhirnya kami dapat menjadi pemandunya di Surabaya. Mereka merencanakan sampai Sabtu berada di Surabaya. Dari cerita mereka, Ahad sudah ada rencana lain di Kuala Lumpur. Praktis hanya ada hari itu juga dan Jumat keesokan harinya. Ditengah kuliah dan UTS ulang serta asistensi, kami pun ikut mengatur waktu. Tidak lebih untuk sekedar memanjakan mereka di Surabaya.

Kamis malam selepas Isya, kami awali membawa Hidayah dan Hafizah keliling Surabaya. Sungguh, perjalanan pertama mereka ke Indonesia penuh dengan perhitungan dan pertimbangan. Mereka merencanakan berapa lama mereka di Surabaya, apa saja tempat yang harus dikunjungi, hotel murah tempat menginap, bahkan sampai makanan khas Surabaya mereka juga tahu. Dan tak lupa, mereka juga mencatat apa yang mereka lakukan di Surabaya.

tempat pertama......


Al-Akbar pun masuk daftar kunjung


G Walk, Al-Akbar, Patung Suro-Boyo di depan Kebun Binatang Surabaya, Taman Bungkul, dan Pasar Keputran menjadi jajanan jalan-jalan kami malam itu. Tentu saja dengan sudut-sudut lain dari Surabaya yang kami lewati dari tempat satu ke tempat lain. Beginilah Surabaya malam. Itulah yang coba kami tunjukkan. Belum sehari kami kenal, suasana sudah sangat cair. Malam pun menjadi hangat. Mungkin karena mobil kami AC-nya habis. Bercerita tentang Indonesia yang dikenal mereka. Begitu pula cerita mereka tentang Malaysia yang kami tahu. Kami berperan lebih dari sekedar pemandu. Tapi teman. Kami semua memang menginginkan demikian.

Inilah Surabaya malam sebenarnya


malam Jumat di Taman Bungkul


Karena ada kuliah (orang Malaysia mengatakan Kelas) pagi hari. Selepas Shalat Jumat baru kami bisa mengantarkan mereka ke tempat lain yang wajib dikunjungi di Surabaya. Pertama tentu saja Tugu Pahlawan sebagai ikon Surabaya. Sayang, museumnya sudah tutup. Keluar Tugu Pahlawan kami bawa mereka ke House of Sampoerna, sedikit menunjukkan masa lalu yang tak didapat di Museum Tugu Pahlawan. Lagi-lagi kami terlambat untuk ikut melinting rokok bersama pekerja lain. Next, melewati Jembatan Merah dan Kembang Jepun kami hanya bisa menjelaskan apa dan bagaimana kedua tempat tersebut. Sebelum akhirnya singgaah di Ampel. Sesuatu yang tak boleh terlewat.

gaya......gaya.......dan jepret. TP emang top banget


mengabadikan yang tak boleh terlupakan


Sayang....museumnya tutup


Hanya sebentar melihat makam, namun tidak di pasar Ampel. Jiwa kefeminiman mereka sebagai perempuan mulai terlihat. Belanja….belanja….belanja. Shoping……shoping….shoping. terlihat sekali bahwa Ampel dapat menjadi surganya Muslim Malaysia. Jubah dan kerudung mereka borong. “Di Malaysia mahal-mahal,” kata mereka. Menjelang malam kami bawa Shalat Maghrib di Masjid Cheng Ho. Kecil namun futuristik dan berbeda dengan kebanyakan yang lain. “Shalat di Kelenteng kita ini?” tanya mereka.

dimana ya....?


House of Sampoerna......hemmmm


Ampel itu tak boleh terlupa......


Selepas Maghrib di Masjid Cheng Ho


Dan yang tak boleh tertinggal adalah kampus kami tercinta. Institut Teknologi Sepuluh Nopember alias kampus ITS tercinta. Terakhir yang tak boleh terlewat tentu saja kuliner Surabaya. Warung Pandan Wangi dan suasananya memberikan itu semua. Soto, Rawon, Sate, dan Pecel terpesan. Sayang perut mereka kecil, padahal ingin sekali mencoba rujak cingur, tahu tek, dan lontong balap. Ditambah Es Anti Stres dan Bumi Hangus yang menjadi andalan Pandan Wangi. Makan malam yang tak akan pernah kami lupakan. Untuk oleh-oleh kami bawa mereka ke Mirota. Kebetulan Hidayah ingin mencari batik sedari awal. Dan di sinilah akhir kebersamaan kami di Surabaya.

di kampus tercinta........ITS


Kami tidak ingin apa-apa dari apa yang kami lakukan. Kami hanya senang ada yang datang ke Surabaya. Kami cinta Surabaya. Kami hanya ingin membuat mereka juga cinta pada apa yang kami cintai. Hanya itu.

Saat kami mengantarkan mereka kembali ke hotel. Saya mendengar Hafizah setengah berbisik pada Hidayah.
“Enjoy tak?”
“Sangat…sangat.”
Saya pun tidur nyenyak malam itu.

Kenangan yang tak kan terlupakan.....Amiin




Thanks to:
Oyon untuk Escudo-nya Kamis malam
Mas Hardian dan Mbak Nelly untuk Avanza-nya di hari Jumat
Tyzha buat SLR-nya
M Choirul Rizal yang telah mempertemukan kami dengan mereka melalui TA-mu

“Hidayah….Hafizah…tunggu kami di KL!”